Skip to main content

Rusia: Serangan Terhadap Kebebasan Internet dan Keamanan Siber

Stop Pemblokiran Situs Telegram; Cabut Undang-Undang yang Restriktif

Orang-orang menerbangkan pesawat kertas, simbol aplikasi pesan instan Telegram, pada sebuah protes atas putusan pengadilan untuk memblokir aplikasi tersebut karena telah melanggar peraturan Rusia, di Moscow, Rusia, 30 April 2018.  ©2018 Reuters/Tatyana Makeyeva
(Moscow) – Pemblokiran layanan pesan Telegram oleh pemerintah Rusia tidak dapat dibenarkan dan memperparah serangan pemerintah yang meluas terhadap privasi dan kebebasan berekspresi daring, menurut Human Rights Watch hari ini. Dua puluh organisasi pembela hak asasi manusia independen, termasuk Human Rights Watch, mengeluarkan pernyataan pada 30 April 2018 yang mengutuk tindakan pemerintah Rusia tersebut.

Rusia seharusnya menghentikan pemblokiran Telegram, dan perusahaan internet semestinya menolak perintah apa pun dari pihak berwenang Rusia untuk memfasilitasi tindakan itu, menurut para organisasi pembela HAM tersebut. Perserikatan Bangsa-Bangsa, Dewan Eropa, Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa, dan organisasi antarpemerintah lainnya seharusnya secara terbuka menentang tindakan Rusia demi membela hak atas kebebasan berekspresi dan privasi baik secara dalam jaringan (daring) maupun luar jaringan (luring).

“Memblokir jutaan alamat IP dalam upaya memblokir Telegram adalah bagian dari serangan pemerintah Rusia terhadap kebebasan berinternet,” kata Yulia Gorbunova, peneliti Rusia di Human Rights Watch. “Tindakan ini membatasi akses pengguna internet kepada informasi dan membuat mereka rentan terhadap pengawasan oleh pemerintah dan kalangan swasta.”

Pada 13 April, lembaga pemerintah Rusia yang memantau media dan komunikasi, Roskomnadzor, memperoleh putusan pengadilan yang membolehkannya untuk memblokir Telegram, yang memiliki lebih dari 10 juta pengguna di Rusia dan lebih dari 200 juta pengguna di seluruh dunia. Putusan pengadilan didasari undang-undang 2016 yang mensyaratkan perusahaan internet untuk menyerahkan kunci enkripsi kepada pemerintah. Pendiri Telegram bersikeras bahwa mereka tidak menyimpan kunci enkripsi pengguna, sehingga tidak bisa menyerahkannya.

Pada hari-hari berikutnya, Roskomnadzor memerintahkan pemblokiran hampir 18 juta alamat Internet Protocol (IP) yang dimiliki perusahaan-perusahaan internet internasional, yang digunakan Telegram untuk terus beroperasi di Rusia.

Organisasi-organisasi itu menjabarkan bahwa gangguan massal akibat  pemblokiran alamat IP tersebut berdampak besar bagi para pengguna internet. Selain itu, mesin pencari, layanan pemetaan dan pelaporan lalu lintas, layanan pemesanan penerbangan, situs belanja daring, dan banyak layanan daring lainnya yang beroperasi secara sah di Rusia juga terkena dampaknya.

Roskomnadzor menggembosi Telegram karena gagal mematuhi perintah tahun 2017 untuk menyediakan kunci enkripsi ke Layanan Keamanan Federal (FSB). Perintah tersebut didasari undang-undang antiterorisme 2016. Undang-undang ini adalah salah satu dari puluhan undang-undang yang diadopsi parlemen Rusia sejak 2012, yang membatasi kebebasan berekspresi, memungkinkan pemblokiran situs web tanpa perintah pengadilan, mengatur penyimpanan data, dan memastikan bahwa data dalam jumlah besar, termasuk informasi rahasia pengguna dan konten komunikasi, dapat diserahkan kepada pihak berwenang, seringkali tanpa pengawasan yudisial.

“Upaya pihak berwenang Rusia untuk mengendalikan komunikasi daring telah menyerang privasi dan keamanan para pengguna, serta melanggar kewajiban Rusia di hadapan hukum,” kata Gorbunova. “Pemerintah perlu mengakhiri serangannya terhadap kebebasan berekspresi daring.”

 

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country