Skip to main content

Indonesia: Masa Jabatan Jokowi Berakhir dengan Keluhan Terkait HAM

Tidak ada upaya nyata untuk menyikapi diskriminasi dan pelanggaran terhadap kelompok-kelompok marjinal

Demonstran perempuan menuntut agar pemerintah mencabut berbagai aturan wajib jilbab di Indonesia, Jakarta, Mei 2023. © 2023 Andreas Harsono/Human Rights Watch © 2023 Andreas Harsono/Human Rights Watch

(Bangkok) – Tahun terakhir masa jabatan Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo tidak menghasilkan inisiatif penting guna menyikapi berbagai masalah hak asasi manusia di negara tersebut, kata Human Rights Watch hari ini dalam World Report 2024. Presiden berikutnya, yang akan terpilih pada 14 Februari 2024, akan menghadapi serangkaian permasalahan hak asasi manusia, termasuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang sangat problematis, berlanjutnya pelecehan dan diskriminasi terhadap minoritas agama dan kelompok-kelompok marjinal lainnya, serta pelecehan yang amat serius terhadap kalangan perempuan.

“Presiden Jokowi tidak banyak memanfaatkan tahun terakhir masa jabatannya untuk berupaya mengatasi masalah-masalah hak asasi manusia yang sudah berkepanjangan dan dihadapi masyarakat Indonesia karena agama, gender, atau etnis mereka,” kata Elaine Pearson, Direktur Asia di Human Rights Watch. “Presiden setelah Jokowi tidak semestinya membuang-buang waktu untuk mengatasi masalah hak asasi manusia yang diciptakan atau diabaikan oleh Presiden Jokowi.”

Dalam World Report 2024 setebal 740 halaman, edisi ke-34, Human Rights Watch mengulas praktik-praktik hak asasi manusia di lebih dari 100 negara. Dalam esai pengantarnya, Direktur Eksekutif Tirana Hassan mengatakan bahwa 2023 adalah tahun penuh konsekuensi tidak hanya bagi penindasan hak asasi manusia dan kekejaman saat perang, melainkan juga bagi kemarahan yang selektif dari negara-negara dan diplomasi transaksional yang menimbulkan kerugian besar bagi hak-hak para pihak yang tidak terlibat dalam urusan tersebut. Namun, kata Tirana, ada juga tanda-tanda harapan, yang menunjukkan kemungkinan adanya jalan lain, dan menyerukan kepada negara-negara agar secara konsisten menjunjung tinggi kewajiban hak asasi manusia mereka.

Pada Desember 2022, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengesahkan KUHP baru, yang akan mulai berlaku pada Januari 2026. Pasal-pasal dalam KUHP baru tersebut melanggar hak-hak perempuan, minoritas agama, dan kalangan lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), dan melemahkan hak atas kebebasan berbicara dan berserikat.

Di Papua Barat, pihak berwenang secara sewenang-wenang menangkapi dan mengadili orang asli Papua karena secara damai menyatakan pandangan yang mendukung penentuan nasib sendiri. Pihak berwenang juga membatasi perjalanan dan akses media asing, diplomat, serta pemantau hak asasi manusia ke Papua Barat.

Beberapa pemerintah kota, kabupaten dan provinsi menekan perempuan serta anak perempuan untuk mengenakan jilbab. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada bulan Agustus lalu mengatakan bahwa sejumlah daerah telah memberlakukan 73 peraturan wajib hijab. Sanksinya mulai dari peringatan lisan hingga dikeluarkan dari sekolah atau tempat kerja, dan hukuman pidana hingga tiga bulan penjara. Berbagai peraturan ini telah memicu perundungan secara nasional terhadap anak perempuan dan perempuan yang tidak mengenakan jilbab, termasuk mereka dari kalangan non-Muslim.

Banyak pernyataan bias dari pejabat pemerintah membenarkan pelecehan dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat dan warga yang main hakim sendiri terhadap kelompok LGBT. Petugas keamanan menangkapi kelompok LGBT, menggerebek rumah-rumah mereka, dan menutup mata ketika pemilik rumah dan tetangga mengusir mereka.

Kebijakan luar negeri Indonesia melewatkan berbagai kesempatan penting untuk membenahi situasi hak asasi manusia di kawasan. Indonesia menjadi ketua Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada tahun 2023, namun blok tersebut gagal membujuk junta militer di Myanmar untuk menjalankan segala ketentuan dalam Konsensus Lima Poin yang disepakati di Jakarta pada April 2021 setelah kudeta militer pada Februari 2021 di Myanmar.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country