Skip to main content

Filipina: Diskriminasi Terhadap Pekerja dengan HIV

Di Tengah Epidemi, Respon Pemerintah yang Lemah atas Pemecatan Sepihak dan Pelecehan

Seorang pendukung menyalakan lilin untuk memperingati korban HIV / AIDS di Filipina pada sebuah upacara di Quezon City, Metro Manila, 14 Mei 2016.  © 2016 Reuters

(Manila) — Pekerja dan karyawan di Filipina dengan HIV yang mengalami diskriminasi kerap enggan mencari ganti rugi, kata Human Rights Watch hari ini. Filipina adalah negara dengan tingkat pertumbuhan infeksi HIV tertinggi di Asia-Pasifik.

Diskriminasi di lingkungan kerja terhadap pekerja dengan HIV di Filipina meliputi penolakan untuk mempekerjakan, pemecatan sepihak, dan pemaksaan pengunduran diri. Beberapa perusahaan juga mengesampingkan atau justru mendorong pelecehan karyawan yang positif mengidap HIV. Dalam beberapa kasus diskriminasi yang dicatat Human Rights Watch, karyawan dengan HIV tidak membuat pengaduan secara formal, alasan terbesar adalah karena mereka yang positif HIV khawatir kondisinya akan terekspos secara luas, yang menyulitkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan di masa mendatang.

“Filipina menghadapi permasalahan ganda, yakni meningkatnya infeksi HIV dan kekhawatiran pekerja dengan HIV bahwa mereka tidak bisa mencari keadilan jika didiskriminasi di lingkungan kerja,” kata Carlos Conde, peneliti asal Filipina. “Pemerintah perlu memastikan bahwa orang yang hidup dengan HIV mendapatkan perlindungan lebih baik dalam pekerjaan mereka dan agar masyarakat mendapat lebih banyak dan lebih baik informasi tentang HIV.”

Di Filipina angka kasus baru HIV, yang menyebabkan AIDS, naik dari yang hanya empat per hari pada 2010 menjadi 31 setiap hari per November 2017.  Dari 117 kasus satu dekade lalu, total angka kasus HIV per November 2017 adalah 49,733, yang mayoritasnya – 41,369, atau 83 persen – dilaporkan dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

Kebanyakan kasus infeksi terbaru, hingga 83 persen menurut pemerintah Filipina, terjadi di antara pria atau perempuan transgender yang berhubungan seks dengan pria.

Meningkatnya angka kasus tersebut mendorong pemerintah untuk mengumumkan “darurat nasional” pada Agustus 2017. Epidemi tersebut disebabkan oleh lingkungan yang tidak mendukung kebijakan dan program yang terbukti bisa mencegah penyebaran HIV. Kebijakan pemerintah justru menyebabkan sulitnya mendapat kondom dan tes HIV serta membatasi pendidikan untuk pencegahan HIV.

Di atas kertas, Filipina punya hukum yang keras, yaitu undang-undang HIV/AIDS, yang dapat mengkriminalisasi perilaku diskriminatif orang-orang dengan HIV di lingkungan kerja. Namun hanya ada sedikit bukti yang menunjukkan pemerintah benar-benar menerapkan hukum tersebut untuk mencegah dan menghukum diskriminasi dalam lingkungan kerja.

Tingkat diskriminasi di lingkungan kerja memang sulit untuk dipastikan. Badan pemerintah yang berwenang menyelidiki dan menghukum pelanggaran undang-undang diskriminasi HIV/AIDS tidak memiliki basis data kasus, dan hanya mengandalkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) seperti Action for Health Initiatives (ACHIEVE) dan Pinoy Plus, yang hanya memiliki basis data orang-orang yang menggunakan jasa mereka.

Namun, berdasarkan wawancara Human Rights Watch setahun belakangan dengan dua LSM tersebut dan 33 orang dengan HIV, diskriminasi di lingkungan kerja adalah salah satu dari kekhawatiran utama mereka. Banyak dari mereka mengaku tak punya informasi tentang bagaimana mendapatkan perlindungan.

“Kevin,” 36 tahun, seorang pegawai call center dari Cagayan de Oro yang didiagnosis mengidap HIV pada Maret 2015, mengatakan tak tahu apa yang harus dilakukan saat perusahaan tempatnya bekerja memaksanya untuk mengundurkan diri. “Hasilnya, saya tak hanya kehilangan pekerjaan tapi juga kehilangan tunjangan ketika saya mengundurkan diri,” katanya.

Badan pemerintah seperti Departemen Tenaga Kerja, Kesehatan, Hukum, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tidak memiliki informasi spesifik soal angka kasus-kasus diskriminasi lingkungan kerja yang telah diterima dan diproses selama bertahun-tahun. Di samping kampanye kesadaran HIV yang diterima para staf di badan-badan pemerintah tersebut, mereka tidak memiliki program spesifik untuk mendorong orang dengan HIV yang mengalami diskriminasi untuk membuat pengaduan.

Orang dengan HIV tampaknya enggan membuat pengaduan. Komisi Hak Asasi Manusia menangani satu kasus pada 2017, kata Leah Barbia dari Pusat Kesetaraan Gender dan Hak Asasi Perempuan di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Namun Barbia tidak yakin apakah ada kasus-kasus yang ditangani sebelumnya. “Saya pikir masalahnya adalah bahwa orang-orang dengan HIV yang merasakan perlakuan diskriminasi tidak tahu harus melapor ke mana,” kata Barbia kepada Human Rights Watch.

Komisi Nasional Hubungan Pekerja pada Departemen Tenaga Kerja, yang menangani sengketa pekerja yang tidak bisa dimediasi, tidak memiliki data aduan dari orang dengan HIV, kecuali satu kasus yang dilaporkan pada 2014 dan diputuskan pada 2015, kata Maria Ricasion Tugadi, kepala departemen riset dan hukum di komisi. Dalam surat elektroniknya ia mengatakan bahwa mungkin “kebanyakan masalah tersebut kebanyakan muncul sebelum karyawan dipekerjakan. Jika dalam tes kesehatan wajib seseorang diketahui positif HIV, perusahaan bisa saja membatalkan penawaran.”

Bahkan sebelum meningkatnya kasus HIV/AIDS baru-baru ini, kebutuhan akan informasi yang lebih baik soal mekanisme ganti rugi jelas adanya. Sebuah “Indeks Stigma” dari Pinoy Plus pada 2010 menetapkan diskriminasi di lingkungan kerja sebagai masalah serius yang dihadapi orang dengan HIV. Sebuah analisis AIDS di Filipina pada 2011 yang dikeluarkan oleh Departemen Pengembangan Ekonomi Nasional dan tiga badan PBB menemukan adanya “kekhawatiran atas diskriminasi pekerjaan” yang dialami oleh orang dengan HIV. Pada Oktober 2010, UNAIDS menganggap masalah tersebut cukup serius dengan menerbitkan sebuah buku pendek, Mencari Ganti Rugi untuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia terkait HIV di Filipina, yang menguraikan mekanisme pengaduan. Buku tersebut, sayangnya, tidak didistribusikan secara luas.

Pemerintah Filipina seharusnya membuat pendidikan dan kampanye kesadaran melalui berbagai media untuk menginformasikan orang-orang dengan HIV tentang hak-hak mereka dan diskriminasi di lingkungan kerja. Badan pemerintah yang bertanggung jawab juga seharusnya membuat dan menerbitkan database kasus diskriminasi yang diperbarui secara teratur. Pemerintah juga harus menjalankan kampanye pendidikan publik tentang HIV dan menyampaikan pesan berisi isu stigma sosial terhadap orang dengan HIV yang lebih luas.

“Pengalaman yang dialami orang dengan HIV di tempat kerja menunjukkan tragedi di dalam tragedi epidemi HIV di Filipina,” kata Conde. “Pemerintahan Duterte harus bertindak untuk menjamin bahwa peningkatan angka orang dengan HIV tidak menyebabkan diskriminasi di tempat kerja yang lebih parah.”

Pada 2017, Human Rights Watch melanjutkan penelitiannya mengenai epidemi HIV di Filipina setelah menerbitkan “Penyebab Epidemi HIV di Filipina: Larangan Pemerintah Terhadap Penggunaan Kondom untuk Laki-laki yang Berhubungan Seks dengan Sesama Jenis” pada Desember 2016. Selama penelitian lanjutan tersebut, Human Rights Watch mewawancarai 33 orang dengan HIV, termasuk beberapa orang yang diwawancarai untuk laporan 2016, kebanyakan berada di Metro Manila dan di empat kota lainnya.

Human Rights Watch juga mewawancarai perwakilan dari pemerintah dan UNAIDS serta beberapa LSM, termasuk ACHIEVE, Pinoy Plus, AIDS Societhy of the Philippines, Positibong Marino Philippines, Project Red Ribbon, Peddal for HIV, Project H4, Northern Mindanao AIDS Alliance, Misamis Oriental-Cagayan de Oro Aids Network, dan ALAGAD-Mindanao.

Kerangka Hukum

Undang-Undang Pencegahan dan Kontrol AIDS 1998, Undang-Undang Republik 8504, mengkriminalisasi diskriminasi terhadap orang dengan HIV di tempat kerja “dalam segala bentuk sejak sebelum dan setelah masa kerja, termasuk dalam perekrutan, promosi atau penugasan, berdasarkan status HIV seseorang, baik itu status sebenarnya, yang dirasa, atau yang diduga.” Pemutusan hubungan kerja hanya atas dasar status HIV seseorang — terduga maupun status sebenarnya —  juga termasuk pelanggaran. Undang-undang tersebut memberi hukuman kepada tenaga medis profesional yang melanggar kerahasiaan status HIV pasien.

Undang-undang tersebut juga mewajibkan perusahaan untuk menerapkan Program Pencegahan dan Kontrol HIV dan AIDS di Tempat Kerja, yang melindungi karyawan dengan HIV dari diskriminasi. Namun Departemen Tenaga Kerja (DOLE), yang bertugas menegakkan undang-undang dan kebijakan ini, utamanya melalui inspeksi tempat kerja, mengakui bahwa pemberlakuan inspeksi tersebut masih sangat kurang. Pada 2016, departemen tersebut menginspeksi 60.311 dari 937.000 perusahaan di seluruh Filipina. Tahun 2015, tercatat hanya 44.520 perusahaan yang diinspeksi.

“Kami kewalahan,” kata Dr. Mart Valeros, yang mengawasi pemberlakuan kebijakan HIV lewat Biro Kelayakan Tempat Kerja. “Kami kekurangan personel.”

Terlebih, departemen tersebut hanya sanggup memeriksa perusahaan di sektor formal, yang sebagian besar adalah perusahaan multinasional. Hal ini mengakibatkan 63 persen dari 937.000 perusahaan di “sektor informal” di Filipina yang tidak tercatat pada basis data departemen tidak diinspeksi.

Dalam laporan kepatuhan 2016 dari Biro Kelayakan Tempat Kerja, teridentifikasi lima “kemungkinan kesenjangan” dalam implemantasi kebijakannya: 1) menjaga kerahasiaan pekerja saat mengakses layanan; 2) menjangkau sektor informal; 3) kurangnya konselor alias tenaga penyuluh di beberapa perusahaan; 4) pengetahuan dan persepsi pencegahan HIV tidak membawa hasil yang diharapkan; dan 5) stigma yang melekat pada orang-orang dengan HIV. Departemen tersebut tidak memasukkan kurangnya penegakan kebijakan sebagai masalah utama implementasi.

Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengatakan pada 2017 bahwa kepatuhan umum terhadap undang-undang buruh di Filipina “menghadapi setumpuk tantangan,” termasuk “rendahnya cakupan karena kurangnya jumlah dan kapasitas inspektor buruh dalam melaksanakan inspeksi khusus.” Sebelumnya, dalam penilaian inspeksi buruh tahun 2013 di Filipina, ILO menjelaskan secara blak-blakan: “Kesenjangan dalam memajukan dan melindungi hak-hak pekerja disebabkan oleh lemahnya penegakan standar-standar minimum.”

Pada 2013, ILO mendukung perubahan Pusat Kesehatan dan Keselamatan Kerja (DOLE) dari “penilaian diri” dalam standar buruh umum menjadi sistem kepatuhan undang-undang buruh yang diharapkan dapat memperkuat kebijakan dengan cara, di antaranya, mempekerjakan lebih banyak inspektor buruh dan mendorong perusahaan untuk mengawasi pegawainya. Akan tetapi, serikat buruh berpendapat bahwa sistem baru tersebut tidak memiliki mekanisme pemberlakuan yang efektif, ibarat “menyuruh serigala untuk menggembala domba.”

Perusahaan yang memenuhi kewajibannya tidak dikenakan sanksi dan sering kali hanya didenda dalam jumlah sepele. “Kami mencoba untuk berkembang dalam hal itu,” kata Valeros, merujuk pada tindakan bironya yang memberi hukuman ringan kepada perusahaan, alih-alih menghukum mereka dengan memberi rekomendasi untuk tidak memperpanjang izin usaha atau memberikan denda, misalnya.

Edu Razon, pendiri Pinoy Plus, asosiasi pertama untuk orang Filipina yang positif HIV, mengatakan keringanan ini berarti perusahaan tidak serta merta dihukum atas diskriminasi di tempat kerja terhadap orang-orang dengan HIV.

Diskriminasi dan Stigma Terhadap Orang dengan HIV

Pada tahun-tahun pertama krisis HIV di Filipina, tahun 1984 hingga 1990, HIV terkonsentrasi di antara pekerja seks perempuan, yang berjumlah 133 dari 216 kasus – atau 62 persen – HIV yang tercatat dalam kurun waktu tersebut, menurut data Departemen Kesehatan. Departemen yang kala itu dipimpin oleh mantan Menteri Luar Negeri Juan Flavier, berusaha menghapus stigma HIV dengan kampanye penggunaan kondom.

Gereja Katolik yang berpengaruh menolak kampanye Flavier, bahkan suatu saat menyebut kampanye itu sebagai  “seorang agen setan.” Sekutu gereja yang konservatif juga menyerang Flavier, seorang Protestan – dan untuk membangun stigma orang dengan HIV – dengan menuduhnya mendukung “pergaulan bebas, nafsu, zina, dan imoralitas seksual.”

Sejak saat itu, sebagian besar kasus infeksi HIV di Filipina – 46,343 atau 94 persen dari total 49,506 kasus yang tercatat oleh departemen kesehatan dari 1991 hingga November 2017 – terjadi pada laki-laki. Dan dari angka infeksi di kalangan tersebut, 83 persen adalah mereka yang berhubungan seks sesama jenis.

Jonas Bagas, aktivis lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) asal Filipina dan staf program di Asia Pacific Council of AIDS Service Organizations di Thailand, mengatakan bahwa stigma terhadap orang-orang dengan HIV merupakan “tantangan terbesar” bagi pemerintah dalam merespon epidemi dan pelanggaran hak asasi orang-orang dengan HIV. Bagas mendesak pemerintah Filipina agar memasukkan dalam tanggapannya terhadap HIV dengan jalan “menitikberatkan hak asasi manusia, menghapus stigma dan diskriminasi di sektor-sektor yang rentan.”  Bagas mengatakan stigma terhadap orang-orang dengan HIV khususnya di komunitas LGBT Filipina sangat bermasalah:

Ada stigma yang dialami oleh orang-orang dalam kelompok rentan – laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama jenis, transgender, atau pengguna narkotika jenis suntik. Saya pikir jika epidemi HIV terjadi, katakanlah, di kalangan ibu dan anak, respon pemerintah sepertinya akan berbeda. Fakta bahwa epidemi tersebut terpusat di kalangan laki-laki [gay] membuat pemerintah mengabaikannya. Ini sudah biasa terjadi di pemerintah: jika kelompok  gay yang terimbas, solusinya adalah cari mereka, lakukan tes, identifikasi mereka yang positif HIV, lalu kita bisa memantau perilaku dan tingkah laku mereka. Demikianlah sikap pemerintah hingga saat ini. Tantangan terbesarnya adalah stigma.

Razon dari Pinoy Plus mengatakan, “Meski kamu terinfeksi HIV atau tidak, jika kamu gay, kebanyakan orang Filipina akan merendahkanmu.”

Kebanyakan dari orang dengan HIV yang diwawancarai mengungkapkan kekhawatiran jika ketahuan sebagai positif HIV sebagai alasan utama mereka tidak membuat pengaduan terhadap atasan atau supervisor mereka. Banyak yang mengatakan jika sekali mereka diberhentikan, kesulitan mencari pekerjaan lain amat nyata.

Mereka juga berpikir bahwa memperkarakan kasus melawan para majikan bakal jadi sesuati yang ribet dan mahal, dan beberapa dari mereka percaya bahwa atasan mereka adalah orang berkuasa yang dapat menghalangi usaha untuk membuat pengaduan. Lainnya bilang, mereka tak tahu ke mana harus mencari bantuan. Alasan lain adalah mereka lebih memilih melupakan atau keluarga mereka tidak menganjurkan memperkarakan suatu kasus karena dapat mempermalukan keluarga.

Para pelajar menerima kondom gratis dalam acara yang digelar oleh United Nations Population Fund di Mandaluyong, Metro Manila, 11 Juli, 2014.  © 2014 Reuters

Tidak Ada Penyuluhan HIV yang Mujarab Untuk Publik

Filipina tidak memiliki pendidikan yang efektif soal penyebaran HIV dan seks aman untuk masyarakat. Para pegiat hak-hak LGBT mengatakan hal ini mencerminkan kegagalan pemerintah yang telah berlangsung lama dalam mengatasi epidemi HIV. Misalnya, jutaan orang Filipina tidak mendapatkan pendidikan memadai tentang pentingnya kondom untuk mencegah penyebaran HIV. Data Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa hanya satu dari lima orang gay yang punya pengetahuan dasar soal HIV. Kurangnya pendidikan HIV dan hak-hak penderita HIV memicu stigma dan diskriminasi di tempat kerja.

Upaya pendidikan masyarakat yang dilakukan oleh Departemen Tenaga Kerja, Hukum, dan Kesehatan atas kebijakan anti-diskriminasi bagi perusahaan dan masyarakat juga gagal. Pusat Kesehatan dan Keselamatan Kerja (DOLE) berurusan dengan beberapa kekhawatiran, terutama keselamatan kerja di lokasi pembangunan, dan sedikit menyinggung soal HIV/AIDS. Brosur keselamatan kerja hanya menyinggung sedikit tentang penyebaran HIV. Meski brosur tersebut menyebutkan hak-hak pekerja dengan HIV, tidak ada informasi layanan pengaduan diskriminasi.

DOLE juga menggelar pelatihan keselamatan kerja tingkat dasar untuk perusahaan di mana pencegahan dan kontrol HIV menjadi salah satu dari bermacam topik, tapi bukan subjek utama, yang sebenarnya sangat direkomendasikan oleh para advokat hak asasi orang dengan HIV. Jadwal pelatihan 2017 yang diterbitkan pada situs webnya tidak mencantumkan apa pun tentang HIV/AIDS.

Para pelajar menerima kondom gratis dalam acara yang digelar oleh United Nations Population Fund di Mandaluyong, Metro Manila, 11 Juli, 2014.  © 2014 Reuters

Tidak Ada Dokumentasi Kasus

Biro Kelayakan Kerja di DOLE, yang memantau kepatuhan kebijakan HIV di tempat kerja, tak memiliki data atas angka pengaduan orang dengan HIV lewat biro tersebut atau badan-badan DOLE lainnya, seperti Badan Mediasi dan Konsiliasi Nasional (NCMB), yang berusaha menyelesaikan sengketa buruh sebelum masuk ke ranah hukum.

“Kami menangani banyak kasus namun, selama saya bertahun-tahun menjadi petugas, saya belum pernah menangani satu pun kasus diskriminasi yang dialami pekerja terkait status HIV-nya,” kata Ronda Malimban, pengacara NCMB yang menangani sengketa pekerja.

Pusat Kesehatan dan Keselamatan Kerja, yang mengadakan seminar HIV/AIDS dasar, juga tidak memiliki database kasus diskriminasi di tempat kerja yang dilaporkan oleh orang dengan HIV, kata Joyce dela Cruz, perwakilan dari departemen di Dewan AIDS Nasional Filipina. “Kami mengawasi kepatuhan kebijakan HIV di lingkungan kerja dan memberi pelatihan – itu tugas kami,” kata dela Cruz. “Jika kami menerima pengaduan, kami meneruskannya ke LSM.”

Romeo Senson, asisten jaksa negara bagian yang mewakili Departemen Hukum di Dewan AIDS Nasional Filipina, mengatakan departemen tersebut tak memiliki database kasus-kasus tersebut. Ia hanya mengetahui beberapa kasus yang ditangani oleh departemennya – eksekutif pertelevisian dan seorang penata rambut, keduanya kehilangan pekerjaan karena status HIV-nya. Namun seingat Senson belum ada kasus ketika pengadilan memutus perusahaan bersalah atas diskriminasi di tempat kerja karena status HIV seseorang.

Hector Soliman, pengacara kelompok LGBT, mengatakan bahwa di antara orang dengan HIV, “kesadaran atas hak asasi secara umum amatlah terbatas.” Teresita Bagasao, koordinator UNAIDS, mengatakan: “Lingkungan tidak memungkinkan ODH (Orang dengan HIV) karena mereka tidak tahu bahwa mereka berhak atas perlindungan. Tidak semua orang punya stamina untuk menempuh jalur hukum. Ketakutan nomor satu adalah penyingkapan identitas dan status HIV mereka.”

Laporan Diskriminasi di Tempat Kerja

Nama telah diubah untuk melindungi privasi narasumber

Pemecatan yang Melanggar Hukum

Prince

“Prince”, seorang teknisi mesin sinar X berusia 24 tahun dari sebuah kota di Mindanao, diberitahu agar “beristirahat” selama sebulan setelah rumah sakit swasta tempatnya bekerja, mengetahui pada Mei 2017 bahwa dirinya mengidap HIV. Ketika Prince kembali bekerja, ia diminta untuk mengundurkan diri.

“Pemilik rumah sakit mengatakan pada saya bahwa ia harus melindungi bisnisnya,” kata Prince. Ia juga mengatakan bahwa alih-alih memecatnya, pemilik rumah sakit menyuruh Prince mengundurkan diri dengan alasan “jika ia memecat saya, hal ini akan berpengaruh pada berkas-berkas ketenagakerjaan saya, yang akan membuat saya sulit mendapat pekerjaan baru.” Prince setuju untuk mengundurkan diri tetapi kemudian menyesali keputusannya. “Seandainya saya tahu hak saya, saya akan melawan balik,” ujarnya.

Elizabeth

“Elizabeth,” 26, dites positif HIV pada 2015. Ia seorang ibu tunggal dari anak usia enam tahun, yang saat itu bekerja sebagai kasir di sebuah kafe Prancis di Manila. Hasil diagnosis atas dirinya membuatnya hancur. “Saya menangis sepanjang waktu, setiap kali saya teringat pada apa yang terjadi,” katanya. Ia mengatakan bahwa ia menangis lebih sering lagi justru “karena diskriminasi yang saya alami.”

Pada Februari 2017, Elizabeth mulai menderita penglihatan ganda dan sering sakit kepala. Dokter yang menanganinya tidak dapat memutuskan apakah dirinya menderita menderita “opportunistic infection”, yakni suatu infeksi yang kasusnya lebih parah jika terjadi pada orang dengan sistem kekebalan lemah, sehingga menyarankan agar Elizabeth menjalani MRI di matanya. Karena dokter merekomendasikan istirahat, Elizabeth perlu mengajukan cuti dari perusahaan tempatnya bekerja. “Saya memberi tahu bagian sumber daya manusia (HR) mengenai status saya sehingga saya punya alasan valid untuk mengajukan cuti, yang kemungkinan akan memakan waktu lama karena dokter menginginkan saya untuk beristirahat,” kata Elizabeth.

Hasilnya, Elizabeth dipecat. “Atasan saya mengatakan dirinya memahami keadaan saya dan ingin membantu,” katanya. Atasannya mengarahkan Elizabeth ke manajer agen tenaga kerja tempat Elizabeth direkrut. Manajer tersebut mengatakan padanya bahwa “Karena kemungkinan ada orang-orang yang tidak akan memahami apa yang terjadi pada saya, ia perlu mengeluarkan saya dari pekerjaan [di kedai kopi],” katanya.

Ia meminta Elizabeth untuk mengisi formulir, yang salah satunya ternyata adalah surat pengunduran diri dari agen tenaga kerja, bukan hanya dari kedai kopi. “Saya tanya mengapa, dan dia memberi tahu saya alasannya karena pekerjaan tersebut akan membuat saya terpapar pada makanan,” jelasnya. “Ia sangat pandai meyakinkan saya agar mau mengundurkan diri demi kebaikan saya sendiri, bahwa berhenti kerja akan mengurangi kadar stres saya, dan hal-hal seperti itu. Namun, itu sangat menyakitkan. Saya tahu hal yang ia minta pada saya adalah salah. Rasanya salah.” Atas dorongan manajer, Elizabeth menandatangani surat tersebut.

John

 “John,” 22, seorang guru di sebuah sekolah Katolik, didiagnosa HIV pada 2015. Ia mencoba untuk menyembunyikan keadaannya dari banyak orang kecuali pasangannya. Ia ingin menjaga informasi itu dari para biarawati yang mengelola sekolah, khawatir mereka akan memecatnya.

Setelah memastikan status HIV-nya pada tes lain tahun 2016, ia mulai menggunakan obat anti-retroviral. Tiap kali ia meminta obat anti-retroviral dari pusat pengobatan yang dikelola pemerintah, ia harus mengajukan klaim asuransi lewat sistem asuransi yang disediakan pemerintah, PhilHealth. Klinik hanya akan memberinya obat-obatan jika ia bisa menunjukkan sertifikat rekomendasi dari pihak yang mempekerjakannya. John mengatakan bahwa petugas di sekolah kerap memperhatikan permintaannya yang terlampau sering, dan informasi tersebut segera sampai ke administrator sekolah. Ketika administrator tersebut mengkonfrontasi John, ia mengungkapkan status HIV-nya.

“Saya tidak akan menghakimimu,” John mengutip hal yang dikatakan direktur sekolah tersebut. namun setelahnya, pada Maret 2016, direktur sekolah memanggil John untuk memberi tahu bahwa dewan pengawas sudah memutuskan tidak akan memperbarui kontraknya karena status HIV positifnya. Direktur sekolah mencoba membenarkan pemecatan John dengan alasan “melindungi martabat sekolah”. John kemudian mengambil pekerjaan mengajar di sekolah Katolik lain di Manila, tetapi hingga saat ini dirinya masih khawatir bahwa kebutuhannya akan surat rekomendasi atasan untuk mendapatkan obat anti-retroviral membuat pekerjaannya berada di ujung tanduk.

Gus

“Gus,” 21, didiagnosa HIV pada Agustus 2016 saat dirinya masih menjadi mahasiswa. Setelah lulus, ia mendapatkan pekerjaan mengajar di sekolah Katolik di Pasay City. Pada awalnya ia tak mengungkapkan status HIV-nya, tetapi kemudian ia memberitahu sang dekan. “Saya diminta mengundurkan diri,” kata Gus. “Mereka menulis surat pengunduran diri dan meminta saya untuk menandatanganinya.” Dekan sekolah tersebut mengungkapkan alasannya bahwa ia ingin guru-guru yang lain tetap dalam keadaan sehat. Namun, hal yang paling menyakitkan bagi Gus, katanya, adalah ketika dekan mengatakan padanya bahwa ia “mungkin saja menulari para siswa”.

Pengalaman tersebut mendorong Gus ke dalam depresi. “Saya menangis dan menangis terus, benar-benar depresi,” katanya. Gus berbohong pada orang tuanya soal kenapa ia kehilangan pekerjaannya, ia bilang bahwa beban pekerjaan di sana terlalu berat baginya. “Mereka [orang tua] tidak mengetahui status HIV saya, saya masih mengumpulkan keberanian untuk memberi tahu mereka,” katanya. Akhirnya, Gus menemukan pekerjaan mengajar lain di sebuah sekolah internasional mengajar bahasa Tagalog. Ia belum mengungkapkan statusnya di sekolah baru, tetapi ia yakin kondisinya bisa diterima: “Selama saya bekerja keras, seharusnya tidak menjadi masalah bagi mereka.”

Rene

Pada Oktober 2015, “Rene” seorang pramusaji sebuah restoran di Puerto Princesa, di provinsi Palawan, bagian barat Filipina, meminta satu pekan cuti liburan. Rene harus pergi ke Manila untuk pengobatan HIV-nya di Research Institution for Tropical Medicine milik Departemen Kesehatan Filipina. Atasannya mencoba menghalangi rencana Rene karena restoran tersebut sedang kekurangan staf, tapi kemudian mengalah, bahkan memberikan uang saku untuk perjalanan Rene.

Rene mengatakan bahwa ketika ia kembali bekerja, ia dipecat oleh atasannya yang telah mengetahui status HIV Rene. Atasannya menyampaikan kekhawatirannya bahwa Rene sudah menularkan HIV saat bekerja. Atasannya melakukan langkah desinfeksi pada restorannya saat Rene pergi. Atasannya bahkan memasang tanda di pintu masuk yang berbunyi “Ini adalah area bebas HIV.”

Upaya Rene untuk mendapatkan ganti rugi atas pemecatan yang melanggar hukum hanya harapan kosong. “Kami mengajukan keluhan kepada Departemen Tenaga Kerja dan Keternagakerjaan mengenai pemecatan tersebut, tapi tak pernah ada respon,” kata Calvin June Sintoy, direktur eksekutif kelompok dukungan HIV/AIDS Project H4 di Puerto Princesa.

Kevin

“Kevin,” 36, seorang  agen call center dari Cagayan de Oro, didiagnosa menyandang HIV pada Maret 2015 saat menjalani perawatan tuberkulosis. Tuberkulosis yang dideritanya memperburuk keadaannya, ditambah dengan seringnya ia bekerja dari rumah sakit, menambah kecurigaan rekan-rekannya tentang akar masalah kesehatannya. Kevin mengatakan bahwa di lingkungan kantor, ia mendengar rekan kerjanya berspekulasi bahwa dirinya terinfeksi HIV. “Saya merasa didiskriminasi karena suatu hari saat saya datang ke kantor, saya benar-benar mendengar orang-orang berbisik, ‘Itu orangnya! Itu ia si lelaki yang mengidap HIV!’” kata Kevin.

Ketika divisi sumber daya manusia di perusahaan tempat Kevin bekerja menanyakan langsung apakah ia mengidap HIV, Kevin merasa ia tak punya pilihan lain selain mengungkapkan statusnya. Ia mengatakan bahwa sejak dirinya berterus terang, para rekan kerjanya mulai menghindar dan menolak bicara padanya. Perlakuan tersebut mendorongnya untuk berhenti dari pekerjaannya pada 2016: “Saya tidak bisa lagi menghadapinya.”

Penolakan Pekerjaan yang Melanggar Hukum

Shade

“Shade,” 27, seorang petugas dek dari Provinsi Cavite, di sebelah selatan Manila, banyak dicari oleh agen-agen penempatan kerja pelaut yang memasok pelaut Filipina ke kapal-kapal dagang dan kargo dunia. Shade lulus dari sekolah maritim dan bekerja rutin sejak 2009. Pekerjaan rutin tersebut berakhir pada 2016 setelah ia mengetahui bahwa dirinya HIV positif saat melakukan perawatan tuberkulosis, ketika bertugas di kapal kargo menuju Afrika Selatan.

Ketika Shade kembali ke Filipina, ia mendaftarkan diri dalam program pengobatan HIV, tanpa mengungkapkan status HIV-nya kepada para pelaut lain karena tidak ada persyaratan hukum yang mengharuskannya. Namun, sebagian besar agen tenaga kerja memberi syarat kepada para pendaftar untuk menjalani pemeriksaan medis termasuk tes HIV, meskipun hukum HIV/AIDS dan perintah DOLE tentang HIV di tempat kerja melarang pengusaha untuk menolak pelamar kerja karena status HIV-nya.

Para advokat bagi orang-orang dengan HIV mengatakan bahwa beberapa perusahaan dan agen tenaga kerja secara rutin menggelar tes HIV. Tindakan ini melanggar rekomendasi ILO yang menyatakan bahwa “Tes HIV harus benar-benar dilakukan dengan sukarela dan bebas dari paksaan dan program Tes HIV harus menghormati pedoman internasional tentang kerahasiaan, konseling, dan persetujuan.” Tes HIV atau bentuk pengecekan lain terkait HIV, tambah  ILO, “seharusnya tidak menjadi keharusan pekerja, termasuk pekerja migran, pencari kerja, dan pelamar kerja.”

Potisibong Marino Filipina, sebuah kelompok dukungan bagi para pelaut dengan HIV berbasis di Manila, kepada Human Rights Watch mengatakan bahwa sebagian besar agen tenaga kerja pelaut memerlukan syarat kesehatan, dan menyaring mereka yang memiliki masalah kesehatan karena takut bahwa pemilik kapal atau operator tidak lagi mempekerjakan mereka.

Shade mendaftar penempatan lebih dari lima kali. Ia diterima dua kali tapi kemudian ditolak ketika tes selanjutnya mengungkap status HIV-nya. Dalam kedua kasus tersebut, personel medis yang memproses pengujian HIV-nya mengatakan bahwa ia “tidak layak untuk bekerja.”

“Kenyataan itu menghancurkan hati sekaligus mengubah hidup saya,” ujarnya. Pada Agustus 2017, ia melamar pekerjaan baru, melewati semua tahapan dan pengujian, memenuhi semua dokumen, dan diterima bekerja. Dua hari setelah ia diberi tahu bahwa ia diterima bekerja, petugas di klinik agen tenaga kerja menghubunginya untuk menanyakan mengapa ia belum dites HIV. Shade mengungkapkan statusnya dan diberi tahu untuk menunggu hingga mereka menghubungi kembali, yang nyatanya tidak pernah terjadi. “Mereka alergi terhadap orang-orang seperti saya,” katanya.

Marlon

“Marlon,” 23, seorang pelaut asal Manila, mengetahui bahwa dirinya mengidap HIV pada Desember 2015. Setelah didiagnosis, ia mendaftarkan diri dalam program pengobatan HIV di sebuah rumah sakit pemerintah sambil terus melamar pekerjaan sebagai pelaut. Marlon datang berterus terang soal status HIV-nya, dan agen tenaga kerja menolak untuk mempekerjakannya. “[Agen tenaga kerja] memberi tahu saya bahwa kepala perusahaan tidak ingin mempekerjakan orang dengan penyakit seperti HIV,” kata Marlon.

Dalam setahun, Marlon melamar melalui lima agen lain, tetapi lamarannya lagi dan lagi ditolak secara eksplisit karena statusnya sebagai orang dengan HIV. “Saya ditolak beberapa kali karena status HIV saya,” ujarnya. “Mereka saat itu bilang bahwa mereka akan kembali menghubungi saya, tapi tak ada satupun yang melakukannya.” Ia akhirnya menemukan Potisibong Marino Philippines di Facebook dan menawarkan diri untuk berpartisipasi. “Agen-agen perusahaan [tenaga kerja] – dari situlah diskriminasi dimulai,” kata Marlon.

Keren

“Keren,” 39, seorang pengawas gudang untuk sebuah merk perlengkapan olahraga di Manila, berhenti dari pekerjaannya setelah didiagnosa mengidap HIV pada April 2012. Para eksekutif perusahaan telah memperingatkan para karyawan bahwa jika salah satu dari mereka tertular HIV, mereka akan langsung dipecat tanpa adanya pesangon pemutusan kontrak kerja. Setelah lima tahun dan empat lamaran kerja berikutnya, Keren masih menganggur, sebuah situasi yang ia kaitkan dengan penolakan perusahaan untuk mempekerjakan pelamar yang mengungkapkan status HIV mereka.

“Sangat sulit untuk mendapatkan pekerjaan akhir-akhir ini dengan kondisi begini, karena saya harus mengungkapkan status saya sehingga saya bisa punya jadwal yang tepat untuk kesehatan saya, yang sesuai dengan kondisi [kesehatan] saya,” katanya. “Namun, kalau saya mengungkapkan kondisi ini, kemungkinan saya tak akan dipekerjakan.”

Pada September 2015, Keren melamar pekerjaan di gudang lain di Manila: “Demi keterbukaan, saya memberi tahu wakil pimpinan perusahaan bahwa saya mengidap HIV. Reaksinya semacam jijik pada saya. Ia menyingkirkan semua berkas yang pernah saya sentuh dalam pertemuan tersebut, mengambil sebotol plastik alkohol, dan mencuci tangannya tepat di depan saya.” Perusahaan tersebut tidak pernah memanggilnya kembali.

Erv

“Erv,” 29, petugas kapal minyak dari Bacolod City, didiagnosa HIV pada April 2015. Ia mencoba melamar pekerjaan setelahnya, tetapi agen tenaga kerja meminta izin medis dari dokter masing-masing dokter. Setidaknya tujuh kali ia mencoba mengajukan lamaran untuk jenis pekerjaan yang sama di Manila, dan semuanya gagal. Demi menghindari agen tenaga kerja, Erv mulai mengirim surat elektronik langsung kepada perusahaan, untuk meyakinkan mereka biarpun dia mengidap HIV, ia kuat, cakap, dan berkeingingan kuat. Semua upaya tersebut tidak membuahkan hasil.

Perusahaan mengatakan padanya bahwa mereka menganggap karyawan dengan HIV sebagai sumber “ketegangan” yang mungkin terjadi pada perjalanan kapal kargo jarak jauh. Seorang dokter agen tenaga kerja mengatakan bahwa ia tak bisa memberi pernyataan bahwa Erv “layak untuk bekerja” karena sistem kekebalannya bisa saja memburuk – meskipun Erv telah mendapatkan izin medis yang menyatakan bahwa kondisinya dalam keadaan terkontrol dan bisa menjalankan tugas dan fungsi secara normal.

Pelecehan di Tempat Kerja

David

Selama empat tahun, “David,” 29, bekerja di Departemen Kesejahteraan Sosial dan Pembangunan di Provinsi Bukidnon. David terbuka mengenai homoseksualitasnya dan terkadang mempekenalkan kekasih lelakinya kepada rekan-rekan kerja. Pada 2015, rekan kerja David mulai menyadari bahwa berat badan David turun, dari 65 kilogram ke 40 kilogram, dan sering batuk-batuk. Beberapa rekan kerjanya menyuruhnya memeriksakan diri karena mungkin saja David mengidap HIV atau AIDS. David mengajukan cuti dan mengetahui bahwa dirinya positif HIV.

Kesehatan David membaik dan ia kembali bekerja ke kantor. Katanya, orang-orang memandangnya secara berbeda, dan rekan kerjanya mulai membicarakan tentang status HIV-nya. Atasannya membicarakan tentang dirinya dan secara terbuka mendiskusikan status HIV-nya. Mereka memutuskan untuk memindahkan David ke kantor lain di kota Pangantucan, masih di Provinsi Bukidnon. David mengatakan bahwa ia hanya tahan di kantor barunya selama sepekan karena tidak tahan akan gosip kantor yang terus berlanjut soal kondisinya.

Andie

“Andie,” 32, bekerja sebagai seorang paralegal di sebuah firma hukum di Iligan City pada 2014 ketika HIV mulai membuat kesehatannya terpuruk. Andie menjadi kurus dan muncul ruam-ruam di lengan dan wajahnya, dan pada beberapa kesempatan ia tidak datang ke kantor. Andie mengatakan bahwa atasannya kesal dengan ketidakhadirannya dan mulai memberi tahu orang-orang bahwa Andie mengidap HIV. “Tiap kali seorang klien bertanya [pada atasan saya] soal keberadaan saya, ia akan bilang bahwa saya ada di suatu tempat dekat Cagayan de oro untuk mengobati AIDS saya,” kata Andie. Ia mengaku sangat terhina sehingga memutuskan berhenti dari pekerjaannya.

Sebelum pergi, ia memberi tahu atasannya mengenai hukum HIV/AIDS di Filipina dan larangan mengungkapkan status HIV karyawan. Pengacaranya merespon: “Semoga berhasil dengan penyebaran virus Anda!”

Abner

“Abner,” 22, seorang kadet kapal dari Iloilo, didiagnosa HIV pada Desember 2016. Dirinya mendapat pekerjaan di kapal terlepas dari statusnya, karena agen tenaga kerja tidak memerlukan tes HIV jika Abner telah menjalani tes medis sebelumnya. Pada Maret 2017, dia membantu memuat persediaan baru untuk kapal, yang membuatnya hernia. Dalam seminggu, ia mengalami demam, dan selama persinggahan di Cina, Abner dibawa ke rumah sakit di mana tenaga medis menemukan status HIV-nya

Di dalam perjalanan kapal kembali ke Filipina, kapten asal Filipina tersebut bicara secara terbuka kepada kru kapal lainnya, sambil bercanda, supaya “lebih baik berhati-hati” di sekitar Abner. Meskipun rekan kerjanya tidak secara terang-terangan memperlakukan Abner dengan buruk, Abner mengaku merasa terhina dengan tindakan sang kapten. “Ia tidak seharusnya melakukan itu. Tidak ada untung baginya  melakukan itu. Saya menerima status saya, tapi adalah tindakan yang salah jika ia menyebarkan status saya tanpa izin.” Setelah Abner kembali ke Filipina, agen tenaga kerjanya memberi tahu bahwa akibat status HIV-nya, perusahaan tenaga kerja tersebut tidak dapat lagi membantunya mencari pekerjaan.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country