Skip to main content

Privatisasi Perang di Afghanistan Bahayakan Warga Sipil

Kontraktor Keamanan AS dan Pasukan Afghanistan Sudah Lama Menghindari Akuntabilitas

Kepulan asap muncul dari lokasi serangan bom mobil di kantor polisi di Distrik Enam, Kabul, 1 Maret 2017.  © 2017 Mohammad Ismail/Reuters
Bulan ini, perang Amerika Serikat di Afghanistan berusia 17 tahun. Orang-orang Amerika yang lahir setelah konflik dimulai sekarang bisa mendaftar di angkatan bersenjata. Ini adalah perang di mana semua pihak telah melakukan kejahatan perang dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, dan korban para warga sipil telah mencapai angka tertinggi baru. Tetapi orang-orang Amerika dan Afghanistan yang mencari solusi untuk mengakhiri perang ini tidak boleh kehilangan pandangan bahwa beberapa pendekatan dapat memperburuk pelanggaran dan merusak sistem peradilan yang rapuh.

Dalam sebuah wawancara yang disiarkan televisi di Kabul pekan lalu, Erik Prince, pengusaha miliarder dan saudara dari Menteri Pendidikan Amerika Serikat Betsy DeVos, mengajukan sebuah rencana ke penonton Afghanistan untuk memprivatisasi pertempuran. Prince mengaku bisa mengakhiri perang dalam “enam bulan setelah program ini sepenuhnya dikerjakan,” menggunakan “mentor veteran yang dikontrak” untuk mendukung pasukan Afghanistan.

Para kontraktor swasta, termasuk karyawan Blackwater, yang menyediakan sebagian besar anggota pasukan Amerika Serikat di Afghanistan sejak tahun 2001, tidak secara langsung melapor ke militer. Meski mereka dapat dituntut atas kejahatan di pengadilan Amerika Serikat berdasarkan Undang-Uundang Yurisdiksi Ekstrateritorial Militer, itu jarang terjadi. Prince mengatakan pasukannya akan tunduk pada hukum Afghanistan.

Perusahaan Prince, Academi, sebelumnya dikenal sebagai Blackwater, telah terlibat dalam kejahatan serius di Irak. Pada 16 September 2007, karyawan Blackwater menembak mati 17 warga sipil Irak. Meski lima karyawan Blackwater didakwa atas tuduhan pembunuhan dan pembantaian pada 31 Desember 2009, seorang hakim federal membatalkan dakwaan itu. Kasus ini dibuka kembali pada tahun 2013. Pada 22 Oktober 2014, seorang karyawan Blackwater, Nicholas Slatten, dinyatakan bersalah dalam kasus pembunuhan dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, dan tiga lainnya dijatuhi hukuman 30 tahun karena pembunuhan tidak disengaja. Namun, pengadilan banding membatalkan vonis Slatten dan menyerukan sidang ulang pada tahun 2017. Pada 6 September 2018, persidangan itu berakhir dengan pembatalan sidang.

Afghanistan telah memiliki rekam jejak yang buruk dalam menuntut anggota pasukan keamanannya yang terlibat dalam pelanggaran HAM serius, termasuk membunuh warga sipil. Mengingat kekebalan hukum yang dinikmati oleh pasukan keamanan, menempatkan mereka di bawah komando kontraktor keamanan swasta dapat semakin melemahkan akuntabilitas.

Menteri Pertahanan Amerika Serikat James Mattis menolak usul Prince, demikian pula juga Presiden Afghanistan Ashraf Ghani. Mereka mengakui Afghanistan tidak membutuhkan kontraktor asing yang beroperasi sebagai hukum bagi diri mereka sendiri. Presiden Trump seharusnya mendengarkan.

 

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.