Skip to main content
Factory workers wearing protective masks return to Dhaka from northern and southern districts in Bangladesh amid the government’s shutdown in response to the coronavirus pandemic, April 4, 2020.

Bukan Hanya Tiongkok: COVID-19 Bisa Meluluhlantakkan Asia

© 2020 Sultan Mahmud Mukut/SOPA Images/Sipa via AP Images

Home to some of the world’s most densely populated cities – think Mumbai, Jakarta, and Manila – the parts of Asia not hit early by the coronavirus could still see an explosion of cases. While people herald South Korea and Taiwan as models for holding COVID-19 at bay, the reaction last December of Chinese officials to the new virus – to hide its severity, to intimidate doctors warning of it – helped fuel the global pandemic. Asia director Brad Adams talks with Amy Braunschweiger about how Asia’s governments are responding to COVID-19 and how a rights-based approach to addressing this public health crisis could help keep the region’s population safer by helping curb the virus’ spread.

Oleh Brad Adams (Direktur Asia) dan Amy Braunschweiger (Manajer Senior Komunikasi Web)

Dengan kota-kota yang tergolong paling padat sedunia katakanlah Mumbai, Jakarta, dan Manilawilayah-wilayah Asia yang terdampak virus Corona belakangan bisa saja mengalami ledakan jumlah kasus. Selagi banyak pihak menempatkan Korea Selatan dan Taiwan sebagai contoh-contoh keberhasilan dalam menghambat penyebaran COVID-19, tindakan para pejabat Tiongkok pada Desember lalu perihal virus baru ini menyembunyikan kegawatannya, menggertak para dokter yang mewanti-wanti soal ancamannya turut andil dalam menghadirkan pandemi ini. Direktur Human Rights Watch Wilayah Asia Brad Adams berbincang dengan Amy Bruaunschweiger tentang cara pemerintah-pemerintah di Asia menangani COVID-19 serta bagaimana pendekatan berbasis HAM untuk mengatasi krisis kesehatan masyarakat bisa membantu mencegah penularan serta melindungi populasi di kawasan ini.
 

Apa saja kekhawatiran terbesar Anda soal virus Corona di Asia?

Karena pengetesan di sebagian besar negara di Asia sangat buruk, kita tak bisa melihat seberapa luas penularannya. Kota-kota superpadat yang sangat sukar atau mustahil menerapkan social distancing biasanya juga memiliki infrastruktur kesehatan masyarakat yang mengenaskan. Rasio dokter dan perawat per kapita sangat rendah, sejumlah rumah sakit kekurangan sumber daya. Dan semua ini terjadi di tempat-tempat kemiskinan merajalela, di mana rakyat harus membayar layanan kesehatan dari kocek mereka sendiri. Kami mencemaskan ledakan jumlah kasus dan kematian di sebagian besar kawasan ini.
 

Bagaimana pemerintah-pemerintah menghadapi virus ini tanpa mencampakkan hak-hak masyarakat?

Hak hidup adalah hak paling asasi, dan hak kesehatan sangat penting untuk mencegah penyebaran penyakit ini serta merawat orang-orang yang tertular. Memang, pembatasan hak bepergian dan berkumpul membuat kita merasa tak nyaman, namun perintah berdiam di rumah dapat menyelamatkan banyak nyawa apabila diterapkan dengan benar. Singapura, misalnya, memandang hak kesehatan secara serius dan merupakan salah satu yang terbaik dalam hal mendukung para pekerja hari-hari ini. India kini berada di tengah-tengah lockdown 21 hari. Bukan perkara gampang bagi negara berpopulasi lebih dari semiliar orang, apalagi sebagian besarnya hidup dari penghasilan pas-pasan. Taiwan sigap melindungi kesehatan masyarakat. Membenahi respons pertamanya yang sembrono, Korea Selatan melarang orang berkumpul dalam jumlah besar dan melipatgandakan kapasitas pengetesan. Karena laju penularan dan kematian Korea Selatan turun secara dramatis, banyak orang menganggapnya sebagai contoh yang berhasil.
 

Sebaliknya, penanganan seperti apa yang mencederai hak?

Banyak negara gagal merespons krisis ini, sering kali karena pemerintah mereka lebih mementingkan ekonomi ketimbang kesehatan masyarakat. Perdana Menteri Pakistan Imran Khan, misalnya, mengatakan bahwa ia tak bakal menyuruh perusahaan-perusahaan agar menghentikan operasi, tak peduli seburuk apa pun pandemi, karena itu bakal berdampak besar terhadap banyak warga miskin Pakistan. Kini Khan bertindak sebaliknya, tetapi seharusnya sejak awal dia mengambil langkah-langkah penyelamatan kesehatan masyarakat yang masuk akal sembari menyediakan bantuan finansial agar orang-orang yang kehilangan pekerjaan bisa bertahan dalam krisis. Pada mulanya Thailand mengalami banyak kasus, tetapi pemerintahnya mengotak-atik angka agar industri pariwisata tidak terjun bebas. Sekarang Pulau Phuket benar-benar disegel, orang tidak bisa masuk maupun keluar.

Di kawasan ini juga ada banyak pemimpin otoriter dan kediktatoran yang memandang pandemi sebagai kesempatan untuk mengokohkan atau memperluas kekuasaan mereka. Di Kamboja, Hun Sen, salah satu diktator yang berkuasa paling lama di dunia, menyambut sebuah kapal pesiar yang ditolak di mana-mana dan mengizinkan para penumpangnya mendarat tanpa pengetesan memadai. Hun Sen menggelar konferensi pers, berjabat tangan, memeluk para penumpang kapal pesiar tersebut, serta mengkritik para jurnalis yang mengenakan masker. Hingga akhir Februari, dia masih mengatakan bahwa virus Corona tidak nyata.

Hun Sen kemudian mengajukan Undang-Undang Darurat yang memberinya kekuasaan nyaris tanpa batas hingga waktu yang tak ditentukan. Kekuasaan tersebut mencakup wewenang militer. Beleid ini juga membolehkan pemerintah membaca semua surat elektronik dan mendengarkan setiap percakapan telepon warga, yang tak ada urusannya dengan kesehatan masyarakat.

Kita sedang menyaksikan rupa-rupa penanganan semacam ini di Thailand, Kamboja, dan Tiongkok, di mana pemerintah berusaha membungkam kritik.

Laporan-laporan kekerasan domestik dari seluruh dunia menunjukkan peningkatan mengerikan selagi keluarga-keluarga yang diperintahkan berdiam di rumah menghadapi stres, klaustrofobia (ketakutan berlebih terhadap ruang yang terbatas, misalnya yang sempit dan tertutup), dan kerentanan ekonomi. Para korban terjebak di rumah bersama penyiksa mereka, dan pemerintah nyaris tak melakukan apa-apa. Pemerintah Malaysia bahkan melakukan pendekatan seksis: menasihati para perempuan agar tak rewel terhadap suami masing-masing untuk "memelihara keharmonisan keluarga selagi bekerja dari rumah."
 

Apa yang terjadi saat sejumlah pabrik di Asia tutup?

Pada dasarnya, Asia merupakan pabriknya dunia. Selama bertahun-tahun, banyak orang bermigrasi dari daerah-daerah pedesaan ke kota-kota besar untuk bekerja. Sekarang, berkat lockdown, pekerjaan jadi barang langka di banyak tempat. Pada akhir Maret, 80.000 orang di Bangkok takut pada lockdown atau kehilangan pekerjaan karena pandemiberjejalan di sebuah terminal bus untuk pulang ke provinsi-provinsi asal mereka di utara dan timur laut negara tersebut. Di India, puluhan ribu buruh migran pulang kampung; sebagian dari mereka tak punya pilihan selain berjalan kaki setelah lockdown diumumkan dan sistem transportasi publik dihentikan. Siapa yang tahu ada berapa banyak di antara mereka yang membawa pulang virus Corona, dan berapa banyak yang tertular karena insiden ini? Karena di kawasan-kawasan pinggiran Asia tak ada pengetesan, kita takkan tahu bagaimana perkembangan situasi pandemi di berbagai negara untuk waktu yang sangat lama, atau bahkan selamanya.

Kebanyakan buruh garmen di Bangladesh, Kamboja, Burma, dan Indonesia adalah para perempuan yang tinggal di permukiman padat. Setelah merek-merek besar membatalkan pesanan, banyak pabrik yang tutup tanpa membayar buruh untuk pekerjaan yang sudah mereka lakukan. Lebih dari sejuta buruh pabrik garmen di Bangladesh dipecat setelah kedatangan virus Corona, sebagian besar tanpa pesangon.

Dari perspektif kesehatan masyarakat, memang pabrik-pabrik itu semestinya ditutup. Namun, konsekuensi dari penutupan pabrik tanpa perlindungan kesejahteraan sosial mendasar membuat para buruh dan keluarga mereka terancam kelaparan. Situasi ini pada gilirannya akan memperparah krisis kesehatan. Tantangannya adalah menerapkan perlindungan kesehatan masyarakat yang efektif sembari memitigasi berbagai konsekuensi yang bisa diperkirakan dan bakal dihadapi kelompok-kelompok masyarakat rentan.

Pemerintah seharusnya bekerja sama dengan para donor, pemegang merek pakaian, dan badan-badan keuangan internasional seperti Bank Dunia guna menjamin standar kehidupan yang layak bagi para pekerja dan keluarga mereka. Seharusnya para pemegang merek itu setidaknya bisa membayar barang-barang pesanan mereka yang telanjur diproduksi agar para buruh bisa digaji.

Kita tak bisa membahas COVID-19 tanpa membicarakan Tiongkok, yang mula-mula menyembunyikan informasi tentang bahayanya, tetapi kemudian bertindak agresif untuk menghentikan penyebaran virus. Bagaimana menurut Anda?

Kita dapat menyaksikan ongkos kediktatoran satu partai saat ini, ketika ada krisis kesehatan masyarakat. Kebanyakan pakar setuju bahwa jumlah kasus positif dan kematian yang diumumkan Tiongkok jauh di bawah jumlah sebenarnya. Seandainya pemerintah Tiongkok langsung menyikapi krisis di Wuhan dengan keterbukaan alih-alih menyensor pemberitaan oleh media-media independen, dan seandainya pemerintah Tiongkok lekas membagikan apa-apa yang mereka ketahui soal virus ini kepada publik alih-alih menghukum para dokter yang membunyikan tanda bahaya, dampaknya terhadap Tiongkok dan dunia pastilah jauh lebih kecil. Bahkan, mungkin saja pandemi ini tidak terjadi.

Selepas krisis, Presiden Xi Jinping dan para pemimpin Partai Komunis Tiongkok harus dimintai pertanggungjawaban.

Karantina bisa diberlakukan, tetapi harus atas dasar yang kuat serta dilakukan secara proporsional. Masyarakat memerlukan makanan, obat-obatan, dan bantuan lainnya. Karantina ala Tiongkok terhadap sekitar 60 juta penduduk bisa dikatakan kelewat luas dan cenderung menyepelekan hak-hak masyarakat. Sejumlah berita lolos dari sensor ketat pemerintah dan menunjukkan bahwa masyarakat yang dikarantina jatuh-bangun untuk mendapatkan perawatan medis serta barang-barang keseharian. Kabar-kabar mengerikan tentang kematian dan penyakit di negara itu pun datang dari berbagai penjuru.

Pada waktu bersamaan, kami mengutuk keras retorika rasis antiasia yang digunakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Menteri Luar Negerinya, Mike Pompeo, dalam pidato-pidato mereka tentang virus ini. Mereka memanfaatkan retorika itu untuk meraih poin ecek-ecek bagi politik xenofobia mereka. Kami juga mengutuk rasisme terhadap orang-orang Asia di banyak negara di seluruh dunia.
 

Sesiap apa infrastruktur negara-negara Asia untuk menghadapi COVID-19?

Di Asia, tingkat perkembangan infrastruktur dan ekonomi antarnegara bervariasi. Ada Jepang, Singapura, Taiwan, dan Korea Selatan yang ekonominya telah mekar. Ada pula negara-negara berpenghasilan menengah seperti Malaysia dan Thailand, yang infrastrukturnya memadai di perkotaan tetapi kurang di perdesaan. Kemudian ada negara-negara macam Tiongkok, India, Pakistan, Bangladesh, dan Indonesia, negara-negara dengan populasi terbesar di Asia, yang para elite-nya sanggup mengakses layanan kesehatan bermutu tetapi warga kelas menengah ke bawahnya ditelantarkan dengan infrastruktur kesehatan masyarakat yang amat lemah.

Afghanistan menghadapi tantangan tersendiri, dengan sistem kesehatan yang rapuh dan perang berkesinambungan yang mengurangi kemampuan pemerintahnya menanggulangi pandemi.

Namun, rintangan utama dalam krisis ini, yang tidak hanya terjadi di Asia, adalah kurangnya pengetesan COVID-19. Di sejumlah negara Asia, jumlah tes sangat tak memadai.
 

Di Asia, siapa yang paling rentan?

Orang-orang berusia lanjut dan berpenyakit kronis bawaan menghadapi ancaman paling gawat. Apabila mereka tertular, jumlah sakit berat dan kematian bakal meningkat. Namun, secara umum, dampak terbesar pandemi ini menimpa orang-orang miskin dan terpinggirkan. Bisa jadi, termasuk minoritas etnis dan bahasa yang mungkin tak dapat mengakses informasi atau layanan kesehatan. Anggota lain kelompok ini adalah para pengungsi, tahanan, penyandang disabilitas terutama yang dikurung atau dipasungdan banyak lagi.

Selepas penyapuan etnis oleh militer di Burma pada 2017, sekarang ada sekitar sejuta pengungsi muslim Rohingya terdampar kamp-kamp dekat distrik Cox's Bazar, Bangladesh. Sebelum krisis COVID-19 pun para pengungsi yang sengsara ini hidup berimpitan. Anak-anak mereka tak memperoleh pendidikan. Jangankan melakukan social distancing, mereka bahkan tak selalu memperoleh air bersih, sanitasi, tempat berteduh, dan layanan kesehatan dasar. Bangladesh juga melarang orang-orang Rohingya memiliki kartu SIM ponsel serta membatasi akses internet di kamp-kamp, merintangi upaya mereka mengakses informasi tentang COVID-19. Kami menahan napas.

Banyak negara di Asia memiliki populasi tahanan yang tinggi, dengan penjara-penjara yang kelewat padat dan kotor. Di Filipina, tingkat kelebihan muatannya mencapai 464 persen, yang paling sesak di dunia sebagian penjaranya bahkan kelebihan kapasitas hingga 500 persen. Kami telah mendesak pemerintah sejumlah negara untuk menyediakan layanan kesehatan tubuh dan mental yang memadai bagi para tahanan. Kami juga mendesak mereka agar membebaskan tahanan-tahanan yang dihukum untuk kejahatan-kejahatan minor, yang memiliki masalah kesehatan bawaan, dan lain-lainnya, untuk melindungi mereka serta mengurangi risiko penularan.

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.