Skip to main content

Indonesia: Kembalikan Status Mahasiswa yang Dikeluarkan karena Aksi Damai Membela Papua

Saat para mahasiswa menantikan gugatan mereka, seorang di antara mereka dikenai dakwaan makar.

Empat mahasiswa Universitas Khairun, Ternate, menggugat rektor perguruan tinggi tersebut karena menjatuhkan sanksi pemecatan (drop out/DO) atas mereka. Para mahasiswa ini menghadiri sidang bersama sejumlah pengacara dan pendukung di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon, 4 Agustus 2020 © 2020 Christ Belseran

(Jakarta) – Universitas Khairun di Pulau Ternate, Indonesia, seharusnya mengembalikan status keempat mahasiswa yang dikeluarkan (drop out/DO) setelah ambil bagian dalam aksi protes damai, kata Human Rights Watch hari ini.

Gugatan perdata keempat mahasiswa tersebut, yang menggugat pemecatan mereka setelah aksi protes Desember 2019, sedang berlangsung di Ambon. Pada 13 Juli 2020, kepolisian Ternate menuduh salah satu dari empat orang tersebut, Arbi M. Nur, dengan pasal "makar" dan "penghasutan". Pemerintah Indonesia semestinya menyelidiki masalah ini, sekaligus dugaan penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi terhadap para mahasiswa.

“Universitas Khairun seharusnya mendukung kebebasan akademik dan kebebasan berekspresi, bukan malah menjatuhkan sanksi DO terhadap para mahasiswa yang secara damai mengungkapkan pandangan mereka,” kata Andreas Harsono, peneliti senior Indonesia di Human Rights Watch. “Universitas Khairun seyogianya mengizinkan para mahasiswa tersebut melanjutkan studi mereka semester ini dan memastikan lingkungan universitas yang melindungi kebebasan berpendapat.”

Pada 2 Desember 2019, empat aktivis mahasiswa – Fahrul Abdullah W. Bone, Fahyudi Kabir, dan Ikra S. Alkatiri,  selain Nur – ikut dalam aksi protes bersama sekitar 50 mahasiswa menyikapi pelanggaran hak asasi manusia di dua provinsi paling timur Indonesia, Papua dan Papua Barat. Menurut para mahasiswa itu pemerintah Indonesia seharusnya membebaskan para tahanan politik Papua dan memberikan penentuan nasib sendiri kepada orang Papua.

Polisi segera mendatangi lokasi aksi protes, di luar kampus Universitas Muhammadiyah Ternate, dan membubarkan para mahasiswa, menangkap 10 orang, termasuk empat aktivis dari Universitas Khairun dan Asri Abukhair, seorang mahasiswa Universitas Muhammadiyah.

Ternate adalah kota terbesar di Provinsi Maluku Utara, kepulauan yang bertetangga dengan Provinsi Papua Barat. Banyak penduduk dari Maluku Utara mengunjungi dan tinggal di Papua Barat dan Papua. Mahasiswa Papua juga banyak yang menempuh studi di Ternate.

Sebuah video amatir menunjukkan polisi secara paksa membubarkan protes, dengan beberapa petugas memukuli para mahasiswa. Polisi melakukan interogasi terhadap 10 mahasiswa yang ditangkap secara agresif, mengancam dan menggunakan kekerasan di kantor polisi Ternate, menurut laporan para mahasiswa dan media.

Arbi Nur mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa beberapa polisi memukul punggung, kepala, dan kaki mereka. Para mahasiswa dibebaskan pada 3 Desember, setelah 27 jam berada dalam tahanan.

Pada 12 Desember, Husen Alting, rektor Universitas Khairun, menandatangani sebuah surat keputusan pemberhentian keempat mahasiswa tersebut, dengan menyatakan bahwa mereka telah "mencoreng nama baik universitas, melanggar etika mahasiswa, dan mengancam keamanan nasional." Tidak ada investigasi atau dengar pendapat di mana para mahasiswa itu dapat menyampaikan apa yang terjadi menurut versi mereka.

Dalam wawancara media pada 26 Desember, Syawal Abdulajit, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, menuduh keempat mahasiswa itu “berpihak” pada kelompok bersenjata, Organisasi Papua Merdeka (OPM), tanpa memberikan bukti apapun. Abdulajit menyebutkan bahwa data soal Arbi Nur sudah dilaporkan kasusnya ke Polri dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Seorang dekan di Universitas Muhammadiyah memperingatkan Abukhair bahwa dia dapat menghadapi pemecatan jika turut terlibat dalam aksi protes tersebut, tetapi tampaknya tidak ada tindakan lebih lanjut yang diambil.

Keempat mahasiswa tersebut baru secara resmi menerima surat pemberhentian pada bulan Maret. Mereka mengajukan gugatan, yang menentang pemecatan mereka, terhadap rektor Universitas Khairun pada 6 April di PTUN di Ambon, ibukota provinsi Kepulauan Maluku.

Karena di Provinsi Maluku Utara tidak ada PTUN, setiap warga negara yang ingin mengajukan gugatan pada institusi pemerintahan manapun di Maluku Utara harus membawa gugatannya di Ambon, 600 kilometer selatan Ternate. Di Ambon, mahasiswa tersebut harus menanggung biaya transportasi dan akomodasi. Mereka menerima bantuan hukum pro bono dari Lembaga Bantuan Hukum Ansor di Ambon. Mahasiswa menyewa sebuah rumah di Ambon untuk memantau proses peradilan.

Arbi Nur menghadapi kemungkinan 20 tahun penjara atas tuduhan makar dan 6 tahun atas tuduhan penghasutan. Ia belum ditangkap karena berada di Ambon.

Pihak berwenang Indonesia seharusnya mencabut tuntutan terhadap Nur, yang melanggar hak atas kebebasan berekspresi. Mereka juga semestinya mencabut tuntutan terhadap para tahanan politik Papua dan Maluku yang sekarang ditahan di beberapa kota seperti Ambon, Fakfak, Wamena, Sorong, dan Jayapura.

Kepolisian Ternate seharusnya mencabut tuntutan terhadap Arbi Nur, kata Harsono. "Dia tidak melakukan kesalahan dalam menjalankan aksi protes secara damai tentang tahanan politik atau penentuan nasib sendiri di Papua."

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.

Region / Country