Skip to main content

Gaza: Serangan Tidak Sah Israel ke Rumah Sakit Memperburuk Krisis Kesehatan

Blokade dan Pengeboman Israel Menghancurkan Sistem Layanan Kesehatan; Selidiki sebagai Kejahatan Perang

Petugas medis merawat seorang warga Palestina yang terluka dalam serangan Israel, menggunakan senter karena kurangnya listrik di Rumah Sakit Indonesia di Jalur Gaza utara, 10 November 2023. © 2023 Anas al-Shareef/Reuters
  • Serangan militer Israel yang berulang-ulang dan tampaknya melanggar hukum, terhadap fasilitas medis, staf medis, dan transportasi semakin menghancurkan sistem perawatan kesehatan Gaza dan seharusnya diselidiki sebagai kejahatan perang.
  • Kekhawatiran akan serangan yang tidak proporsional menjadi semakin besar bagi rumah sakit. Bahkan ancaman serangan atau kerusakan kecil saja dapat berdampak besar pada hidup atau mati para pasien dan keluarga mereka.
  • Pemerintah Israel semestinya mengakhiri serangan terhadap rumah sakit. Komisi Penyelidikan Internasional Independen untuk Wilayah Pendudukan Palestina dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) seharusnya menggelar penyelidikan.

(Yerusalem) – Serangan militer Israel yang berulang-ulang terhadap fasilitas medis, staf medis, dan transportasi, yang tampaknya melanggar hukum, semakin menghancurkan sistem perawatan kesehatan Jalur Gaza dan seharusnya diselidiki sebagai kejahatan perang, demikian pernyataan Human Rights Watch hari ini. Terlepas dari klaim militer Israel pada 5 November 2023, tentang "penggunaan rumah sakit yang mencurigakan oleh Hamas," tidak ada bukti yang diajukan untuk membenarkan pencabutan status perlindungan terhadap rumah sakit dan ambulans di bawah hukum humaniter internasional.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah melaporkan bahwa setidaknya 521 orang, termasuk 16 pekerja medis, telah terbunuh dalam 137 "serangan terhadap layanan kesehatan" di Gaza pada 12 November. Serangan-serangan ini, di samping keputusan Israel untuk memutus aliran listrik dan air serta memblokir bantuan kemanusiaan ke Gaza, telah sangat menghambat akses layanan kesehatan. Perserikatan Bangsa-Bangsa menemukan pada 10 November bahwa dua pertiga dari fasilitas perawatan primer dan setengah dari semua rumah sakit di Gaza tidak berfungsi pada saat tenaga medis sedang menangani pasien yang terluka parah dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Rumah sakit kehabisan obat-obatan serta peralatan dasar, dan sejumlah dokter mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa mereka terpaksa melakukan operasi tanpa anestesi dan menggunakan cuka sebagai antiseptik.

"Serangan berulang oleh Israel merusak rumah sakit dan melukai petugas kesehatan, yang sudah sangat terpukul oleh blokade yang melanggar hukum, telah menghancurkan infrastruktur kesehatan Gaza," kata A. Kayum Ahmed, penasihat khusus untuk hak atas kesehatan di Human Rights Watch. "Serangan terhadap rumah sakit telah menewaskan ratusan orang dan menempatkan banyak pasien dalam risiko besar karena mereka tidak dapat menerima perawatan medis yang layak."

Human Rights Watch menyelidiki sejumlah serangan terhadap atau di dekat Rumah Sakit Indonesia, Rumah Sakit al-Ahli, Pusat Perawatan Mata Internasional, Rumah Sakit Persahabatan Turki-Palestina, dan Rumah Sakit al-Quds antara 7 Oktober dan 7 November. Human Rights Watch berbicara melalui telepon dengan dua pengungsi yang berlindung di rumah sakit dan 16 petugas kesehatan serta pejabat rumah sakit di Gaza, dan menganalisis serta memverifikasi data sumber terbuka, termasuk video yang diunggah ke media sosial dan citra satelit, serta basis data WHO.

Pasukan Israel menyerang Rumah Sakit Indonesia beberapa kali antara 7 dan 28 Oktober, menewaskan sedikitnya dua warga sipil. Pusat Perawatan Mata Internasional diserang berulang kali dan hancur total setelah serangan pada 10 atau 11 Oktober. Serangan menghantam kompleks dan sekitar Rumah Sakit Persahabatan Turki-Palestina pada 30 dan 31 Oktober. Kerusakan pada rumah sakit serta kurangnya bahan bakar untuk generator rumah sakit membuat rumah sakit itu ditutup pada 1 November. Serangan Israel berulang kali merusak Rumah Sakit al-Quds serta melukai seorang pria dan anak di depan gedungnya. Pasukan Israel pada beberapa kesempatan menyerang ambulans yang ditandai dengan baik, menewaskan dan melukai sedikitnya selusin orang dalam satu insiden pada 3 November, termasuk anak-anak, di luar rumah sakit al-Shifa.

Berbagai serangan yang sedang berlangsung ini tidak berdiri sendiri. Pasukan Israel juga telah melakukan sejumlah serangan yang merusak beberapa rumah sakit lain di Gaza. WHO melaporkan bahwa per tanggal 10 November, sebanyak 18 dari 36 rumah sakit dan 46 dari 72 klinik perawatan primer terpaksa ditutup. Penutupan paksa berbagai fasilitas ini dipicu oleh kerusakan akibat sejumlah serangan serta kurangnya listrik dan bahan bakar.

Para petugas kesehatan di sejumlah rumah sakit di Gaza mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa mereka berurusan dengan jumlah pasien terluka yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selain itu, ribuan pengungsi internal yang berlindung di sejumlah rumah sakit juga terancam, menghadapi kekurangan makanan dan obat-obatan. Beberapa rumah sakit di Gaza terpaksa untuk mengatasi masalah ini dengan kekurangan staf medis, beberapa di antara mereka telah terbunuh atau terluka di luar pekerjaan mereka.

Seorang dokter di Nasser Medical Center mengatakan: "Pada pukul 3 pagi. Saya menangani seorang perempuan berusia 60 tahun dengan luka sayatan di kepalanya. Saya tidak bisa membuat jahitan untuk menyembuhkan lukanya — tidak ada sarung tangan, tidak ada peralatan — jadi kami harus menggunakan teknik yang tidak steril. "

Rumah sakit dan fasilitas medis lainnya adalah objek sipil yang mendapat perlindungan khusus di bawah hukum humaniter internasional, atau hukum perang. Rumah sakit hanya kehilangan perlindungan dari serangan jika digunakan untuk melakukan "tindakan berbahaya bagi musuh," dan setelah ada peringatan yang diwajibkan. Bahkan jika pasukan militer secara tidak sah menggunakan rumah sakit untuk menyimpan senjata atau menampung kombatan yang tak terluka, pasukan penyerang harus mengeluarkan peringatan untuk menghentikan penyalahgunaan ini, menetapkan batas waktu yang wajar untuk mengakhirinya, dan menyerang secara sah hanya setelah peringatan semacam itu tidak diindahkan. Memerintahkan pasien, staf medis, dan lainnya untuk mengungsi dari rumah sakit seharusnya hanya digunakan sebagai upaya terakhir. Tenaga medis perlu dilindungi dan diizinkan untuk melakukan pekerjaan mereka.

Semua pihak yang bertikai harus senantiasa berhati-hati untuk meminimalkan bahaya bagi warga sipil. Serangan terhadap rumah sakit yang digunakan untuk melakukan "tindakan membahayakan musuh" tetap melanggar hukum jika dilakukan secara tak pandang bulu atau tak proporsional. Penggunaan senjata peledak di daerah padat penduduk meningkatkan risiko serangan tak pandang bulu. Serangan-serangan di mana hilangnya nyawa dan harta benda sipil yang diperkirakan akan terjadi sangat besar dibandingkan dengan keuntungan militer yang nyata dan langsung adalah tidak proporsional. Kekhawatiran terhadap serangan yang tidak proporsional semakin besar di rumah sakit, karena ancaman serangan atau kerusakan kecil saja dapat berdampak besar pada hidup dan mati pasien dan keluarga mereka.

Militer Israel pada 27 Oktober mengklaim bahwa "Hamas menggunakan rumah sakit sebagai infrastruktur teror," menerbitkan rekaman yang menuduh bahwa Hamas beroperasi dari rumah sakit terbesar Gaza, al-Shifa. Israel juga menuduh bahwa Hamas menggunakan Rumah Sakit Indonesia untuk menyembunyikan pusat komando dan kontrol bawah tanah dan bahwa mereka telah mengerahkan landasan peluncuran roket 75 meter dari rumah sakit.

Klaim ini dipertanyakan. Human Rights Watch belum bisa menguatkan klaim-klaim tersebut, dan juga tidak menemukan informasi yang bisa membenarkan serangan terhadap sejumlah rumah sakit di Gaza. Ketika seorang jurnalis dalam konferensi pers yang menunjukkan rekaman video kerusakan Rumah Sakit Qatar mencari informasi tambahan untuk memverifikasi rekaman suara dan gambar yang disajikan, juru bicara Israel mengatakan, “serangan kami didasarkan pada informasi intelijen.” Sekalipun itu akurat, Israel belum menunjukkan bahwa serangan terhadap beberapa rumah sakit itu proporsional adanya.

Perintah evakuasi umum yang dikeluarkan Israel pada 13 Oktober bagi 22 rumah sakit di Gaza utara bukanlah peringatan efektif karena tidak mempertimbangkan syarat-syarat khusus bagi rumah sakit, termasuk menghadirkan rasa aman bagi para pasien dan tenaga medis. Sifat perintah yang luas dan ketidakmungkinan untuk dipatuhi dengan aman, mengingat tidak ada cara yang dapat diandalkan untuk melarikan diri atau tempat yang aman untuk pergi di Gaza, juga menimbulkan kekhawatiran bahwa tujuannya bukan untuk melindungi warga sipil, melainkan untuk menakut-nakuti mereka agar meninggalkan Gaza. Direktur jenderal WHO mengatakan bahwa "mustahil untuk mengevakuasi rumah sakit yang penuh dengan pasien tanpa membahayakan nyawa mereka."

Pemerintah Israel seharusnya segera mengakhiri serangan yang melanggar hukum terhadap rumah sakit, ambulans, dan berbagai objek sipil lainnya, serta blokade total terhadap Jalur Gaza, yang merupakan kejahatan perang berupa hukuman kolektif, kata Human Rights Watch. Hamas dan kelompok-kelompok bersenjata Palestina lainnya perlu mengambil semua tindakan pencegahan yang layak untuk melindungi warga sipil di bawah kendali mereka dari efek serangan dan tidak menggunakan warga sipil sebagai "perisai manusia."

Komisi Penyelidikan Internasional Independen di Wilayah Pendudukan Palestina, termasuk Yerusalem Timur, dan Israel seharusnya menyelidiki serangan-serangan oleh Israel yang tampaknya melanggar hukum terhadap infrastruktur perawatan kesehatan di Gaza.

Jaksa Mahkamah Pidana Internasional (ICC) memiliki yurisdiksi atas permusuhan saat ini antara Israel dan kelompok-kelompok bersenjata Palestina yang mencakup tindakan melanggar hukum oleh semua pihak. Statuta Roma ICC  melarang sebagai kejahatan perang “dengan sengaja mengarahkan serangan terhadap… unit medis dan transportasi.” Para pejabat Israel dan Palestina semestinya bekerja sama dengan komisi tersebut dan ICC dalam pekerjaan mereka, kata Human Rights Watch.

Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Jerman, dan negara-negara lain seyogianya menangguhkan bantuan militer dan penjualan senjata kepada Israel selama pasukannya terus melakukan pelanggaran serius dan meluas, yang merupakan kejahatan perang terhadap warga sipil Palestina dengan kekebalan hukum. Pemerintah semua negara semestinya menuntut agar Israel memulihkan aliran listrik dan air ke Gaza dan mengizinkan masuknya bahan bakar dan bantuan kemanusiaan, memastikan bahwa air, makanan, dan obat-obatan sampai ke penduduk sipil Gaza.

"Serangan Israel yang berbasis luas (broad-based) terhadap sistem perawatan kesehatan Gaza adalah serangan terhadap para orang sakit dan terluka, pada bayi-bayi di inkubator, pada mereka yang hamil, pada para pasien kanker," kata Ahmed. "Tindakan-tindakan ini perlu diselidiki sebagai kejahatan perang."

Efek Blokade pada Rumah Sakit

Blokade oleh Israel telah sangat membatasi rumah sakit, yang kehabisan obat-obatan penting dan peralatan dasar. Meskipun pihak berwenang Israel telah mengizinkan sedikit bantuan kemanusiaan ke Gaza, mereka terus memblokir masuknya bahan bakar, yang dibutuhkan rumah sakit untuk generator mereka. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa “sejumlah rumah sakit berada di ambang kehancuran karena kekurangan listrik, obat-obatan, peralatan dan personel ahli.”

Pada 22 Oktober, Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) menyatakan keprihatinan mendalam tentang dampak blokade. Mereka mencatat bahwa 120 anak yang baru lahir berada di inkubator, 70 di antaranya membutuhkan ventilasi mekanis. Inkubator dan ventilator tidak dapat beroperasi tanpa pasokan listrik yang stabil. "Angka kematian akan meningkat secara besar-besaran jika inkubator mulai rusak, jika rumah sakit menjadi gelap, jika anak-anak terus minum air yang tidak aman dan tidak memiliki akses ke obat-obatan ketika mereka sakit," kata UNICEF. Antara 11 dan 13 November, tiga bayi prematur dan 29 pasien lainnya dilaporkan meninggal dunia di rumah sakit al-Shifa di tengah pemadaman listrik dan kurangnya pasokan medis, menurut Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA)

Sejumlah laporan yang mengemuka menunjukkan bahwa kondisi tidak sehat di rumah sakit semakin mempengaruhi akses ke perawatan kesehatan. Tanya Haj Hassan, seorang dokter yang memimpin jaringan dukungan untuk petugas kesehatan Gaza, mengatakan kepada The Guardian bahwa “Ratusan orang berbagi satu toilet dan tinggal di koridor rumah sakit, dan hal ini jelas menimbulkan kekhawatiran besar terhadap kebersihan, sanitasi, dan fungsi rumah sakit.” Para dokter juga melaporkan bahwa semakin banyak pasien menunjukkan gejala penyakit yang berhubungan dengan kepadatan penduduk dan kurangnya sanitasi.

Seorang dokter di Rumah Sakit al-Aqsa mengatakan kepada Human Rights Watch pada 23 Oktober: "Ada kelangkaan obat-obatan, tidak ada listrik, tidak ada disel, tidak ada solar, tidak ada air untuk diminum atau digunakan. Dan perusahaan listrik mematikan listrik untuk semua warga sipil. ... Ada triase (sebuah usaha dalam melakukan prioritas terhadap pasien berdasarkan derajat kegawat daruratan atau penyakit sehingga dapat dilakukan skala prioritas dalam penanganan pasien gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat) kronis dan pembatasan pengobatan; kami harus membuat rujukan ke Mesir, tetapi tidak ada cara untuk sampai ke sana."

Perintah Evakuasi Israel

Otoritas Israel telah memerintahkan evakuasi terhadap semua 22 rumah sakit di kota Gaza dan Gaza utara. "[Perintah evakuasi] ini tidak mungkin dilakukan, mempertaruhkan nyawa pasien rawat inap dan pengungsi internal (IDP), dan khususnya kelompok paling rentan yang membutuhkan bantuan hidup," kata WHO, seraya menambahkan bahwa ada "kapasitas ambulans yang tidak mencukupi untuk antar-jemput dan kapasitas tempat tidur yang tidak mencukupi untuk merawat pasien-pasien ini di bagian selatan." WHO menggambarkan perintah itu sebagai "hukuman mati bagi orang sakit dan terluka."

OCHA menyatakan keprihatinan bahwa "ribuan pasien dan staf medis, serta sekitar 117.000 pengungsi internal, tinggal di berbagai fasilitas ini." Direktur Jenderal Médecins Sans Frontières (Doctors Without Borders atau MSF) Meinie Nicolai mengatakan: “Pemberitahuan 24 jam oleh Israel bahwa orang-orang di Gaza Utara harus meninggalkan tanah, rumah, dan rumah sakit mereka sangatlah keterlaluan—ini merupakan serangan terhadap layanan medis dan kemanusiaan.”

Pada 13 November, semua kecuali satu rumah sakit di kota Gaza dan Gaza utara dilaporkan tidak berfungsi, menurut OCHA.

Human Rights Watch mewawancarai dua orang dengan disabilitas yang berlindung di rumah sakit dan mengaku tidak bisa mengungsi. “Jika mereka mengebom rumah sakit, saya akan mati. Saya tahu saya tidak bisa bergerak,” kata Samih al-Masri, seorang pria berusia 50 tahun yang mengaku kehilangan kedua kakinya akibat serangan pesawat tanpa awak milik Israel pada tahun 2008 dan saat itu sedang berlindung di rumah sakit al-Quds.

202311mena_gaza_health_facilities_map_0.jpg
Peta yang menunjukkan lokasi empat serangan terhadap fasilitas kesehatan yang didokumentasikan oleh Human Rights Watch antara 7 Oktober dan 7 November 2023. © 2023 Human Rights Watch

Rumah Sakit Indonesia

Militer Israel berulang kali menyerang kompleks dan sekitar Rumah Sakit Indonesia di Beit Lahiya, salah satu dari dua rumah sakit besar di Gaza utara.

Pada 7 Oktober, serangan udara menghantam area di belakang Rumah Sakit Indonesia, yang menurut laporan OCHA  menewaskan dua pria, termasuk seorang staf, dan melukai lima lainnya. Hosni Salha, seorang penjaga keamanan, terbunuh saat duduk di salah satu kendaraan rumah sakit bersama dengan pengemudi dan paramedis, kata seorang dokter dari rumah sakit. Setelah serangan itu, dokter mengambil foto di tempat kejadian yang menunjukkan kendaraan yang hancur. Warga sipil kedua adalah seorang pria yang melewati rumah sakit ketika serangan itu terjadi, kata dokter itu.

Dokter tersebut mengatakan bahwa rumah sakit itu merawat para pasien yang terluka dalam permusuhan, termasuk sejumlah keluarga yang terluka dalam serangan udara yang menghantam rumah mereka. Ia mengatakan bahwa setelah serangan udara yang menghantam gedung apartemennya, ia mencari putrinya, seorang mahasiswi teknik tahun kedua. Serangan itu menewaskan sang putri dan empat warga sipil lainnya, termasuk seorang anak: "Saya mulai menggali dengan tangan saya dengan seluruh kekuatan saya; Anggota pertahanan sipil belum tiba. Saya terus menggali dengan tangan saya sampai saya melihat bagian dari kausnya, saya terus menggali, ketika saya melihatnya, putri saya sudah menjadi martir."

Dokter itu mengatakan, militer Israel tidak memberikan perintah untuk mengungsi atau peringatan dini sebelum serangan pertama terhadap rumah sakit. Katanya, pada 13 Oktober, seminggu setelah serangan pertama, rumah sakit menerima perintah evakuasi dari Israel.

Bahkan mereka yang telah menyelesaikan perawatannya pun tidak bisa pergi. Mereka tidak punya tempat untuk pergi setelah kehilangan rumah dan keluarga mereka, dan tidak ada tempat yang aman. Kami memiliki seorang anak perempuan di rumah sakit yang kehilangan seluruh keluarganya. Ia saat ini tidak punya siapa-siapa untuk ditumpangi, tidak ada tempat untuk dituju. Ada juga seorang anak laki-laki yang tinggal di rumah sakit. Kami menunggu sampai ia diidentifikasi oleh anggota keluarga atau kerabatnya.

Pada 16 Oktober, serangan udara lainnya menghantam lima meter dari rumah sakit, merusak sebagian bangunan, yang menurut dokter membuat pasien dan staf ketakutan.

Ia mengatakan, pada malam tanggal 27 Oktober, setelah pemerintah Israel tampaknya secara sengaja mengganggu telekomunikasi di Gaza, rumah sakit itu kembali diserang, menyebabkan kerusakan tambahan pada bangunan tersebut. Human Rights Watch melacak geolokasi sebuah video dan tiga foto yang dirilis pada 28 Oktober yang menunjukkan sebuah kawah di dalam halaman rumah sakit.

Pada 30 Oktober, OCHA melaporkan bahwa serangan ini terjadi setelah adanya perintah baru dari militer Israel untuk segera mengevakuasi rumah sakit.

Cuplikan rekaman CCTV yang ditayangkan oleh Al Jazeera pada 29 Oktober menunjukkan saat-saat langit-langit rumah sakit runtuh karena serangan di dekat rumah sakit. Rumah sakit itu menerbitkan foto-foto yang memperlihatkan langit-langit yang runtuh ke halaman Facebook-nya, yang disebut sebagai akibat dari serangan di sekitar rumah sakit. Serangan lain pada 30 Oktober menyasar sebuah daerah tak jauh dari rumah sakit, menyebabkan debu dan asap menyebar ke pintu masuknya. Cuplikan rekaman dari 4 November  dan 6 November menunjukkan serangan tambahan di sekitar rumah sakit.

Dalam konferensi pers 5 November, juru bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) menuduh bahwa "Rumah Sakit Indonesia digunakan oleh Hamas untuk menyembunyikan pusat komando dan kendali bawah tanah," bahwa Hamas memiliki landasan peluncuran roket yang berjarak 75 meter dari rumah sakit, dan bahwa mereka mencuri bahan bakar dari rumah sakit.

Dalam konferensi pers keesokan harinya, Medical Emergency Rescue Comittee (MER-C) yang berkedudukan di Indonesia, sebuah kelompok sukarelawan yang mendanai rumah sakit itu, membantah tuduhan tersebut, dan menyatakan bahwa satu-satunya terowongan yang terhubung ke rumah sakit digunakan untuk mengirim bahan bakar ke tangki bahan bakar rumah sakit untuk menyalakan generator. Human Rights Watch tidak dalam posisi untuk menguatkan klaim Israel atau MER-C.

Kepada media pada 30 Oktober seorang relawan MER-C mengatakan, sebanyak 2.530 orang telah dirawat di rumah sakit karena cedera dan 164 pasien masih dirawat di rumah sakit. Relawan itu mengatakan, lebih dari 1.500 warga yang mengungsi juga berlindung dalam sejumlah kamar di rumah sakit yang kosong serta di halaman. Pada 31 Oktober, gelombang pasien dikirim ke rumah sakit itu menyusul serangan udara Israel di kamp pengungsi Jabalia yang menurut laporan Kementerian Kesehatan Gaza menewaskan lebih dari 50 orang dan melukai 150 orang. Pada 2 November, Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan bahwa generator utama rumah sakit berhenti beroperasi karena kekurangan bahan bakar.

Rumah Sakit Mata Internasional

Human Rights Watch meninjau dan memverifikasi sejumlah foto dan cuplikan rekaman video milik Rumah Sakit Mata Internasional di sekitar Tal al-Hawa di Kota Gaza, yang menunjukkan kerusakan struktural yang parah pada bangunan utama. Dalam materi yang dipublikasikan dan citra satelit dari tanggal 10 dan 11 Oktober, tanda-tanda kerusakan konsisten dengan serangan udara yang menggunakan amunisi besar yang dijatuhkan dari udara. Dua serangan tampaknya telah terjadi: satu pada 8 Oktober dan satu lagi pada 10 atau 11 Oktober, yang menghancurkan fasilitas tersebut. Pada 21 Oktober, rumah sakit tersebut menulis dalam sebuah unggahan di laman Facebook-nya bahwa “rumah sakit tersebut sudah tidak ada lagi” dengan sebuah foto yang menunjukkan kehancuran total.

 

Satellite imagery October 8, 2023. Satellite imagery on October 15, 2023, shows the complete destruction of the International Eye Hospital in Gaza City.

Sebelum: © 2023 Planet Labs PBC Setelah: © 2023 Planet Labs PBC

Perbandingan citra satelit antara 8 dan 15 Oktober 2023, menunjukkan kehancuran total Rumah Sakit Mata Internasional di Kota Gaza. Gambar © 2023 Planet Labs PBC

Perbandingan citra satelit antara 8 dan 15 Oktober 2023, menunjukkan kehancuran total Rumah Sakit Mata Internasional di Kota Gaza. Gambar © 2023 Planet Labs PBC]

Human Rights Watch tidak dapat menemukan informasi yang dipublikasikan dari otoritas Israel dalam bahasa Inggris, Arab, atau Ibrani yang mencerminkan bahwa peringatan dini telah diberikan atau memberikan dasar hukum apa pun untuk serangan terhadap fasilitas medis tersebut.

Rumah Sakit Persahabatan Turki-Palestina

Mulai malam tanggal 30-31 Oktober, militer Israel berulang kali menyerang kompleks dan sekitar Rumah Sakit Persahabatan Turki-Palestina, di selatan Kota Gaza di kampus Fakultas Kedokteran Universitas Islam Gaza. Rumah sakit tersebut berfungsi sebagai satu-satunya pusat perawatan kanker khusus di Jalur Gaza.

Dalam citra satelit yang dikumpulkan pada pagi hari tanggal 30 Oktober, terlihat tiga kawah tumbukan, salah satunya berukuran diameter 10 meter, kurang dari 100 meter dari kompleks rumah sakit utama. Keesokan paginya, kawah tambahan terlihat di halaman kompleks rumah sakit, dengan diameter setidaknya 15 meter.

OCHA melaporkan pada 31 Oktober bahwa rumah sakit telah "dihantam selama dua malam berturut-turut," bahwa ada kerusakan pada lantai tiga, dan bahwa para staf serta orang-orang yang berlindung di rumah sakit terpapar asap, menyebabkan sesak napas dan kepanikan.

Direktur rumah sakit, Sobhi Skaik, mengatakan kepada Human Rights Watch pada 3 November, bahwa serangan tanggal 31 Oktober terjadi di lantai tiga rumah sakit, yang berdampak pada sayap timur dan barat, serta sekitar 100 hingga 150 pasien kanker di sana, keluarga mereka, dan staf rumah sakit.

Human Rights Watch memverifikasi beberapa video yang diposting di media sosial yang menunjukkan efek dari serangan tersebut. Sebuah video yang diunggah ke media sosial pada awal 30 Oktober menunjukkan kerusakan pada bagian dalam rumah sakit. Sebuah video yang diambil dari dalam rumah sakit dan dipublikasikan di media sosial pada sore hari tanggal 30 Oktober menunjukkan serangan di dekat kompleks rumah sakit. Sebuah ledakan keras terdengar dalam video diikuti oleh kepulan asap.

Foto dan video yang diterbitkan oleh media serta di media sosial pada 31 Oktober menunjukkan kerusakan di dalam sayap timur rumah sakit, di mana ada lubang melingkar besar di dinding bagian luar yang menghadap ke tenggara, jendela-jendela yang pecah, dan dinding bagian dalam yang hancur.

Human Rights Watch memastikan bahwa kerusakan itu kemungkinan besar disebabkan oleh peluru dari senjata api langsung, seperti senjata utama tank. Sebuah video yang diunggah di media sosial pada 30 Oktober menunjukkan sebuah tank Israel di sepanjang Jalan Salah al-Din, 1,7 kilometer sebelah timur rumah sakit. Beberapa kelompok kendaraan militer lapis baja, termasuk tank dan buldoser, juga terlihat pada citra satelit dari 31 Oktober di bagian tenggara rumah sakit setelah serangan Israel di Jalur Gaza. Pada hari itu, kendaraan lapis baja terdekat berjarak kurang dari 500 meter dari rumah sakit.

Rumah sakit tersebut ditutup pada 1 November karena serangan udara dan kekurangan bahan bakar. Skaik mengatakan staf rumah sakit itu terpaksa mengevakuasi pasien ke RS Dar al-Salam di Khan Younis dalam kondisi yang tidak aman. "Kami dievakuasi di bawah tembakan," katanya. "Kami tidak memiliki perlindungan." Katanya, sebuah badan internasional mengatakan kepadanya bahwa yang bisa mereka lakukan hanyalah "menyampaikan pesan" kepada Israel.

Menurut Skaik dan Kementerian Kesehatan Gaza, pada 2 November, empat pasien kanker meninggal dunia setelah dievakuasi dari rumah sakit. Skaik mengatakan bahwa RS Dar al-Salam saat itu sedang berusaha memberikan layanan tetapi tidak sanggup memberikan perawatan yang dibutuhkan pasien kanker tanpa peralatan medis di RS Persahabatan Turki-Palestina, yang tidak dapat ditransfer, dan obat-obatan hampir habis. Kementerian Kesehatan memperingatkan bahwa kondisi 70 pasien kanker di rumah sakit tersebut berada dalam kondisi kritis.

Human Rights Watch tidak dapat menemukan informasi apa pun yang telah dipublikasikan dari otoritas Israel dalam bahasa Inggris, Arab, atau Ibrani yang memberikan peringatan dini kepada rumah sakit atau dasar hukum atas serangan terhadap fasilitas medis tersebut. Para pejabat Turki mengutuk serangan militer Israel terhadap rumah sakit tersebut sebagai pelanggaran hukum internasional.

 

Citra satelit dari 3 November 2023, menunjukkan beberapa kawah tumbukan di sekitar RS Persahabatan Turki-Palestina.  © Airbus 2023

Rumah Sakit Al-Quds
Berbagai serangan Israel telah menghantam Kawasan sekitar RS al-Quds di lingkungan Tal al-Hawa di Kota Gaza pada 16 Oktober, seperti yang ditunjukkan dalam sejumlah video dan foto yang diunggah ke media sosial, yang dikumpulkan dan ditinjau oleh Human Rights Watch. Serangan-serangan tersebut dilakukan setelah Israel memerintahkan evaluasi, meskipun ada bukti visual bahwa rumah sakit tersebut digunakan untuk merawat pasien dan melindungi keluarga-keluarga yang mengungsi. Beberapa gedung tinggi hancur total di jalan-jalan yang berdekatan dengan rumah sakit, seperti yang terlihat pada citra satelit 6 November.

Masyarakat Bulan Sabit Merah Palestina (PRCS) mengeluarkan sebuah pernyataan bahwa rumah sakit, yang berada di bawah naungannya, telah menerima perintah Israel untuk mengungsi pada pukul 4 sore (awalnya pukul 6 pagi) pada 14 Oktober. Pada 16 Oktober, serangan telah menghantam wilayah sekitar rumah sakit itu sebanyak lima kali, demikian ungkap PRCS. Sebuah video yang disiarkan pada 18 Oktober menunjukkan serangan menghantam kurang dari 200 meter dari pintu masuk rumah sakit.

Pada 20 Oktober, PRCS melaporkan bahwa otoritas Israel memperingatkan tentang serangan terhadap rumah sakit melalui telepon dan memerintahkan evakuasi. Pada 22 Oktober, otoritas Israel dilaporkan memerintahkan rumah sakit untuk melakukan evaluasi sebanyak dua kali dalam rentang waktu setengah jam. PRCS mengunggah sebuah video dari dalam rumah sakit yang menunjukkan orang-orang berdiri di pintu masuknya mengikuti apa yang dikatakan rumah sakit itu sebagai serangan intens Israel sejauh 20 meter. Rumah sakit mengatakan serangan terjadi selama pertemuan staf rumah sakit dengan Komite Internasional Palang Merah (ICRC).

Pada 29 Oktober, PRCS mengatakan bahwa otoritas Israel memperingatkan pihaknya tentang serangan terhadap rumah sakit dan memerintahkan evakuasi segera, yang didahului dengan serangan yang menghancurkan bangunan sedekat 50 meter dari rumah sakit. Rekaman yang diunggah pada 29 Oktober menunjukkan serangan di samping gedung rumah sakit, tepat di depan lokasi PRCS lainnya, dan kerusakan pada rumah sakit. Video yang diterbitkan pada 30 Oktober menunjukkan akibat dari serangan dan kerusakan pada gedung PRCS.

Beberapa serangan yang menghantam sekitar rumah sakit berlanjut pada 31 Oktober, menurut unggahan PRCS. Cuplikan rekaman video yang diterbitkan pada 2 November oleh PRCS dan akun media sosial lainnya menunjukkan serangan tambahan di sekitar rumah sakit. PRCS mengumumkan pada 2 November bahwa tembakan dari kendaraan Israel sejauh satu kilometer ke arah selatan melukai seorang pria dan anak di depan rumah sakit, serta menghantam lantai enam rumah sakit tempat banyak pengungsi perempuan dan anak-anak yang terlantar berlindung, merusak unit pendingin udara sentral rumah sakit dan tangki air.

Cuplikan rekaman video menunjukkan jendela-jendela yang pecah, asap, dan debu sebagai akibat dari apa yang tampak seperti ledakan sekitar 35 meter barat laut pintu masuk utama rumah sakit pada tanggal 3 November. PRCS melaporkan bahwa serangan tersebut, yang dampaknya terlihat dalam rekaman video yang diunggah ke media sosial, menghancurkan panel kaca internal dan merobohkan sebagian plester langit-langit rumah sakit. Terdapat 21 korban luka yang dilaporkan, sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. Serangan lebih lanjut dilaporkan terjadi di dekat rumah sakit sepanjang hari.

Pada 5 November, cuplikan rekaman video menunjukkan petugas medis memindahkan seorang pria yang terluka ke rumah sakit sementara ledakan terdengar di latar belakang setelah hantaman di dekatnya. PRCS menyatakan bahwa serangan itu kemudian meningkat dalam intensitas, durasi, dan kedekatannya dengan rumah sakit, dan telah menyebabkan 12 cedera di antara orang-orang yang berlindung di dalam, selain cedera pada dua pasien, salah satunya berada di unit perawatan intensif.

OCHA melaporkan bahwa 14.000 orang terlantar berada di RS al-Quds bersama dengan sejumlah staf rumah sakit dan pasien pada 29 Oktober. Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah (IFRC) dan Masyarakat Bulan Sabit Merah memperingatkan bahwa ratusan pasien yang terluka, terbaring di tempat tidur, dan pasien jangka panjang, termasuk mereka yang berada dalam perawatan intensif, dengan bantuan hidup, dan bayi dalam inkubator, terancam oleh serangan di sekitar rumah sakit bersama dengan orang-orang terlantar dan staf medis, dan bahwa "dekat, jika bukan mustahil" untuk mengevakuasi pasien dalam situasi saat ini.

 

Citra satelit dari 6 November 2023, menunjukkan beberapa bangunan tinggi rusak atau hancur di jalan-jalan yang berdekatan dengan RS al-Quds, Kota Gaza. © 2023 Planet Labs PBC

Serangan terhadap Ambulans

Pasukan Israel beberapa kali menyerang ambulans yang ditandai dengan lambang Palang Merah atau Bulan Sabit Merah, seringkali di dekat rumah sakit. Ambulans, seperti halnya fasilitas medis, memiliki perlindungan khusus di bawah hukum perang sehingga tidak boleh diserang kecuali digunakan untuk melakukan "tindakan membahayakan musuh" dan setelah mendapatkan peringatan. Setidaknya dalam satu kasus, militer Israel mengklaim bahwa kelompok-kelompok bersenjata secara tidak sah menggunakan ambulans yang telah diserang, tetapi tidak memberikan informasi lebih lanjut atau peringatan.

Pada 3 November, militer Israel menyerang sebuah ambulans yang ditandai tepat di luar RS al-Shifa Kota Gaza. Cuplikan rekaman video dan foto-foto yang diambil tak lama setelah serangan dan diverifikasi oleh Human Rights Watch menunjukkan seorang perempuan yang ditandu dalam ambulans dan setidaknya 21 orang tewas atau terluka di daerah sekitar ambulans, termasuk setidaknya 5 anak-anak. Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan bahwa 15 orang tewas terbunuh dan 60 terluka dalam serangan itu. Seorang juru bicara IDF mengatakan dalam sebuah wawancara televisi hari itu: "Pasukan kami melihat teroris menggunakan ambulans sebagai kendaraan untuk bergerak. Mereka merasakan adanhya ancaman dan karenanya kami menyerang ambulans itu." Human Rights Watch tidak menemukan bukti bahwa ambulans itu digunakan untuk keperluan militer.

Pada 7 Oktober, WHO melaporkan bahwa sebuah ambulans di depan Kompleks Medis Nasser di Khan Younis diserang sekitar pukul 2 siang, dan melukai beberapa tenaga paramedis. Sebuah video terverifikasi  yang  diposting ke media sosial dan foto Anadolu Agency menunjukkan ambulans yang hancur di luar kompleks.

WHO melaporkan bahwa serangan terpisah pada 7 Oktober, yang menghantam dua ambulans di Jabalia, menewaskan dua paramedis dan melukai lainnya.

Kementerian Kesehatan Gaza juga melaporkan bahwa pada 13 Oktober, serangan Israel menghantam tiga ambulans, melukai 10 paramedis.

Permusuhan dan Blokade

Operasi militer Israel saat ini di Gaza dimulai setelah serangan 7 Oktober yang dipimpin Hamas di Israel selatan yang mengakibatkan terbunuhnya sekitar 1.200 orang, ratusan di antaranya adalah warga sipil, menurut pemerintah Israel. Hamas dan Jihad Islam menyandera 240 orang, termasuk anak-anak, orang dengan disabilitas, serta lansia. Kelompok-kelompok bersenjata Palestina di Gaza juga telah meluncurkan ribuan roket tanpa pandang bulu ke pusat-pusat penduduk Israel.

Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan bahwa sejak pengeboman oleh Israel di Gaza dimulai pada 7 Oktober, lebih dari 11.000 orang telah terbunuh pada 10 November, termasuk lebih dari 4.500 anak-anak. Lebih dari 1,5 juta orang telah mengungsi, kata OCHA.

Blokade pemerintah Israel terhadap Gaza, yang menghalangi akses warga sipil ke barang-barang penting untuk kelangsungan hidup mereka, seperti air, makanan, dan obat-obatan, merupakan hukuman kolektif dan merupakan kejahatan perang. Pihak-pihak yang bertikai harus memfasilitasi perjalanan cepat bantuan kemanusiaan yang tidak memihak untuk semua warga sipil yang membutuhkan. Selama pendudukan militer, seperti di Gaza, penguasa yang menduduki memiliki tugas di bawah Konvensi Jenewa Keempat, sejauh mungkin dengan cara-cara yang tersedia, "memastikan pasokan makanan dan medis penduduk."

Your tax deductible gift can help stop human rights violations and save lives around the world.